JAKARTA, Bisnistoday – Kenyataan di publik, bahwa komunikasi pemerintah seharusnya tidak hanya berorientasi pada personalisasi pejabat, melainkan pada fungsi-fungsi yang dijalankan. Presiden sebagai komunikator utama memiliki tanggung jawab besar dalam membangun kepercayaan publik, bukan hanya melalui retorika tetapi juga melalui tindakan yang konsisten dan transparan.
Hal tersebut diungkapkan Abdul Rahman Ma’mun, Dosen Universitas Paramadina saat menggelar diskusi publik bertajuk “Kepercayaan Publik yang Hilang: Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo” di Universitas Paramadina Kuningan, Trinity Tower Lt.45 pada Selasa (11/3).
Ia mengkritisi pernyataan-pernyataan inkonsisten dari pemerintah yang dapat merusak kepercayaan publik. “Publik tidak peduli siapa yang menyampaikan informasi, yang mereka inginkan adalah transparansi dan konsistensi. Jika komunikasi pemerintah tidak dikelola dengan baik, kepercayaan publik akan benar-benar hilang,” tegasnya.
Abdul Rahman juga mengingatkan bahwa dalam era keberlimpahan informasi, transparansi harus diwujudkan bukan hanya dalam jumlah informasi yang tersedia, tetapi juga dalam kualitas dan kredibilitasnya. “Jika transparansi hanya menjadi formalitas tanpa akuntabilitas yang jelas, maka kepercayaan publik justru akan semakin tergerus,” tukasnya.
Gaya Komunikasi Pemerintah
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini pada kesempatan yang sama menyoroti perbedaan pola komunikasi pemerintahan dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga saat ini. Menurutnya, komunikasi politik di era SBY cukup rapi dan transparan dengan kehadiran juru bicara resmi seperti Andi Mallarangeng dan Dino Pati Djalal. Namun, setelahnya, pola komunikasi menjadi tidak terdeteksi akibat dominasi buzzer politik di media sosial.
“Para buzzer ini tidak memiliki posisi dan kedudukan yang jelas, apakah mereka bagian dari civil society, LSM, atau wakil pemerintahan. Jika mereka adalah relawan, sebaiknya dimasukkan ke dalam institusi resmi seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika agar transparan dan bisa dikontrol,” ujar Didik.
Prof. Didik juga mengutip riset LP3ES yang menyebut bahwa hoaks sering kali justru berasal dari institusi negara. Salah satu contoh yang ia angkat adalah narasi yang menyamakan KPK dengan Taliban, yang menurutnya merupakan bagian dari upaya sistematis untuk membentuk opini publik./