Jakarta, BisnisToday – PSSI telah menetapkan target ambisius hingga 2045, terbagi dalam tiga fase: pengembangan (jangka pendek), stabilitas (jangka menengah), dan golden era (jangka panjang).
Pada puncaknya, PSSI menargetkan Timnas Indonesia senior bisa menembus peringkat 45 FIFA dan rutin berpartisipasi di ajang-ajang dunia seperti Piala Dunia, Olimpiade, serta turnamen usia muda lainnya.
Secara spesifik, PSSI menargetkan:
- Piala Dunia 2026: Timnas senior lolos ke putaran final.
- Piala Dunia U17 2031 & Piala Dunia U20 2033: Timnas junior mulai eksis di level global.
- Olimpiade 2036 dan Piala Dunia 2038: Indonesia berusaha menjadi tim yang konsisten bersaing di turnamen besar.
- Timnas Putri juga ditargetkan masuk ke Piala Dunia U17 2030, Olimpiade 2031, Piala Dunia U20 2032, hingga Piala Dunia 2035.
“Pernyataan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang menyebut bahwa ini bukan mimpi hiperbola, menimbulkan pertanyaan: Apakah ini benar-benar realistis, atau sekadar target tanpa fondasi yang jelas,” tutur pemilik akun @AwanCrew dalam komal TikTok, Kamis 6 Maret 2025.
Apresiasi untuk PSSI
Sementara pemilik aku @Joan memberikan apresiasi atas pemaparan yang disampaikan Ketua Umum PSSI Erick Thohir di depan Komisi X DPR RI.
“Apresiasi buat Pak Erick Thohir dengan segala kemampuan maupun kelemahannya. Karena sejauh ini, kita baru tahu ada roadmap jangka pendek, menengah dan panjang,” ujarnya.
Ini bagian dari upaya PSSI meningkatkan prestasi dan pembinaan, tinggal diimplementasikan dalam upaya kerja nyata.
“Kalau sekarang PSSI berupaya memperbaiki dari atas (timnas) dan di harapkan kompetisinya pun terus diperbaiki. Karena jujur saja secara peringkat kita masih berada di urutan 25 di Asia, masih kalah dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam,” tuturnya.
Sementara pemilik aku @ORCA911 mengatakan, jika ingin melakukan pembinaan secara simultan dan satu visi dengan PSSI lakukan revolusi besar terhadap kepengurusan Asprov, Askot dan Askab.
“Ciptakan kompetisi berjenjang, untuk usia kelompok umur. PSSI turun tangan, kalau rasionalitasnya Asprov, Askot dan Askab tidak berkembang ya bubarkan,” tandas Orca.
Sementara itu pemilik akun @masiful berpendapat target besar ini terlihat megah. Lagi-lagi butuh waktu dan proses yang panjang.
“Gede banget targetnya, keren sih di atas kertas, tapi tanpa investasi besar di pembinaan pemain muda, infrastruktur, dan liga domestik yang proper, semua bisa jadi wacana doang,” kata dia.
“PSSI mau serius berubah atau cuma kasih janji manis tiap pergantian kepemimpinan? Kalo cuma jadi target yang dirombak tiap ganti pengurus, ya Indonesia bakal tetep jadi jago kandang aja. Mimpi,” kata dia.
“Mari kita bandingkan dengan negara lain, contoh saja seperti Jepang, Korea Selatan maupun Maroko,” kata dia.
Negara Maju Bidang Pembinaan
Jepang butuh 20 tahun sejak reformasi J-League (1993) untuk menjadi tim langganan Piala Dunia dengan sistem pembinaan yang jelas, investasi besar-besaran di akademi, serta regulasi ketat terkait pengembangan pemain muda.
Korea Selatan mulai mendominasi Asia sejak era 1980-an dengan investasi besar dalam infrastruktur sepak bola dan liga domestik yang kuat, menghasilkan generasi emas yang bisa bersaing di level dunia.
Maroko, yang menembus semifinal Piala Dunia 2022, adalah contoh lain bagaimana pembinaan berkelanjutan, regulasi pemain diaspora, dan strategi jangka panjang yang konsisten bisa berbuah hasil nyata.
Sementara itu, Indonesia masih tertinggal di banyak aspek, mulai dari kualitas liga, pembinaan usia dini, regulasi kepemilikan klub, hingga fasilitas pelatihan.
“Jika target sebesar ini ingin tercapai, seharusnya ada strategi konkret yang lebih dari sekadar wacana,” imbuhnya.
Tantangan dan Ketertinggalan Indonesia
Liga yang Masih Lemah: Liga 1 baru saja naik ke peringkat 25 Asia, masih kalah dari Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Kompetisi yang tidak kompetitif akan sulit melahirkan pemain berkualitas.
Minimnya Akademi dan Infrastruktur:
Dibandingkan Jepang yang memiliki lebih dari 100 akademi elit terafiliasi dengan klub profesional, Indonesia masih bergantung pada sekolah sepak bola (SSB) tanpa sistem yang terstruktur.
Kurangnya Pemain di Liga Top Dunia:
Jepang dan Korea Selatan memiliki ratusan pemain yang berkarier di Eropa, sementara Indonesia baru memiliki segelintir pemain di luar negeri.
Target PSSI ini terdengar ambisius, namun tanpa investasi besar di pembinaan pemain muda, infrastruktur, serta peningkatan kompetisi domestik, ini bisa berujung menjadi sekadar angan-angan.
Apakah PSSI siap melakukan perubahan radikal untuk benar-benar mengejar ketertinggalan? Atau ini hanya menjadi target di atas kertas yang akan berubah setiap pergantian kepemimpinan?
“Liga usia muda? Ada sih, tapi gak jelas sustainability-nya. Terasa jalan sendiri-sendiri tanpa sistem yang proper ada kompetisi. Soal roadmap pembinaan? Jangan hanya ghosting. kalau Asprov, Askab dan Askot tak berfungsi, saya setuju cut saja,” pungkas mas iful.