JAKARTA, Bisnistoday – Kerugian PT. Pertamina pada Semester I-2020 sampai sebesar US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun sangat membuat publik kaget. Menjadi pertanyaan kerugian terjadi ketika harga jual BBM sangat mahal. Publik menilai kerugian Pertamina ini benar-benar menyedihkan, serta tidak masuk akal.
Menurut Uchok Sky Khadafi, Direktur CBA (Center For Budget Analysis) dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (25/8), untuk menutupi isu negatif kerugian Pertamina ini, biasanya bukan menyalahkan manajemen Nicke Widyawati yang jelek dalam mengelola perusahaan Pertamina. Tetapi lebih mencari berbagai alasan lain sebagai senjata pamungkas mengapa perusahaan gagal meraih laba.
“Alasan yang sudah muncul ke publik seperti menuduh covid 19, volume penjualan yang turun, Fluktuasi Rupiah terhadap Dolar AS, dan melemahnya harga minyak mentah dunia.”
Uchok Sky Khadafi
Ditegaskan, Uchok, empat alasan tersebut benar-benar dijadikan sebuah pembenaran untuk menyakinkan publik. Padahal alasan seperti Volume penjualan yang turun, sebetulnya tidak masuk akal, dan tidak harus membuat Pertamina merugi. Karena, volume penjualan yang turun, sebetulnya bisa ditutupi dengan harga jual BBM kepada masyarakat yang tidak mengalami penurunan atau tetap mahal ketika harga BBM internasional sedang anjlok turun ke titik terendah.
Padahal, menurutnya, akibat harga BBM yang mahal kepada konsumen domestik, sebetulnya Pertamina jauh dari kata merugi. Malahan Pertamina lebih survive bila dibandingkan dengan negara-negara Asean. Di negara Asean, volume penjualan diperkirakan juga turun. Tetapi perusahaan tetap memperoleh keuntungan. Misalnya, Petronas, Malaysia tetap memperoleh keuntungan. Meskipun di Malaysia atau negara Asean harga BBM rata-rata turun hampir sekitar 50%.
Kemudian alasan lain tentang kerugian Pertamina disebabkan melemahnya harga minyak mentah dunia, kata Uchok, adalah sebuah kontradiktif. Justru dengan melemahnya harga minyak dunia, Pertamina seharusnya tidak merugi malahan diuntungkan. Karena, perusahaan dapat membeli minyak mentah dan produksi dengan harga murah, dan dijual pula dengan harga mahal di pasar domestik.
Mengacu kerugian ini, CBA (Center For Budget Analysis) mendesak Presiden Jokowi dan Menteri BUMN, Erick Thohir tidak tinggal diam saja untuk menyikapi kerugian Pertamina. “Harus segera mengambil langkah-langkah dalam penyelamatan perusahaan pertamina tersebut. Langkah tersebut seperti segera mencari pengganti Nicke Widyawati,” tukasnya.
Kemudian, tambah Uchok, kerugian Pertamina sebesar Rp11,33 triliun harus diselidiki oleh aparat hukum. Kerugian Pertamina itu, sepertinya bukan kerugian bisnis. Diminta aparat Hukum jangan tersihir dengan alasan kerugian Pertamina disebabkan Fluktuasi Rupiah terhadap Dolar AS. “Fluktuasi inikan terjadi sejak 2019, kok dijadikan alasan utama?”