JAKARTA, Bisnistoday – Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksana memberhentikan sementara perdagangan saham (trading halt) selama 30 menit, akibat anjlok hingga melebihi 8% atau tepatnya 9,19%. IHSG pada sesi I- Selasa (8/4), ambles sebesar 9,19% atau 598,56 ke Rp5.912,06.Kendati begitu, menjelang penutupan Sesi I perdagangan, IHSG kembali bergerak naik. Hal ini sebagai dampak isu global mengenai perang dagang Amerika Serikat.
Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, di Jakarta, Selasa (8/4) berpendapat, pasar keuangan Indonesia kembali diguncang tekanan jual masif pada Selasa, 8 April 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok hingga memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt).
Meski sempat dibuka kembali, indeks tetap terjebak di zona merah dengan pelemahan signifikan. Banyak analis menyebut sentimen negatif dari pasar AS dan Eropa sebagai biang keladi. Penurunan yang begitu drastis, melampaui ambang batas wajar, memaksa otoritas bursa mengambil langkah darurat: trading halt atau penghentian sementara perdagangan.
Hal ini, menandakan kepanikan luar biasa di kalangan pelaku pasar. Setelah jeda singkat untuk mendinginkan suasana, perdagangan dibuka kembali, namun luka belum pulih. Indeks tetap terkapar di zona merah, mengonfirmasi bahwa tekanan jual masih sangat kuat. Namun, pertanyaan kritis tetap menganga: mengapa IHSG jatuh lebih dalam dibandingkan bursa saham regional seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand?
Kekhawatiran Global
Achmad Nur Hidayat menuturkan, penurunan tajam di pasar AS dan Eropa pada Senin, 7 April 2025, menjadi pemicu awal kepanikan di Asia. Indeks pan-Eropa STOXX 600 anjlok 4,5%, disusul penurunan serupa di London (FTSE 100 -4,38%) dan Paris (CAC 40 -4,78%).
Di AS, Dow Jones kehilangan 0,91%, meski Nasdaq masih bertahan di wilayah positif. Guncangan ini memang berdampak pada pasar Asia, termasuk Indonesia. Namun, klaim bahwa IHSG hanya menjadi “korban pasif” dari gejolak global adalah penyederhanaan yang berbahaya.
Faktanya, pasar saham regional seperti Malaysia (KLCI) dan Filipina (PSEi) hanya mengalami koreksi moderat, sementara IHSG terjerembap lebih dalam. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah utama bukan hanya pada arus global, melainkan pada kerentanan spesifik Indonesia.
Sebagai pasar berkembang (emerging market), Indonesia memang rentan terhadap aliran modal asing yang fluktuatif.Tapi mengapa negara dengan fundamental makro “cukup sehat” seperti Indonesia justru lebih rapuh dibandingkan negara ASEAN lain?/