JAKARTA, Bisnistoday – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selama ini terkesan tidak pernah memperhitungkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebelum mengeluarkan kebijakan pelarangan angkutan logistik sumbu tiga atau lebih pada saat libur besar keagamaan. Yang ada, kebijakan yang dikeluarkan itu hanya copy paste saja dari kebijakan sebelumnya.
“Selama ini, belum ada bukti yang mengemuka di media-media mengenai kajian dari Kemenhub berapa besar kerugian ekonomi yang disebabkan kebijakan pelarangan tersebut,” ujar pakar transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno baru-baru ini.
Kalau ada larangan-larangan terhadap angkutan logistik, menurutnya, prinsip kerugian ekonomi yang ditimbulkannya juga harus dihitung. Padahal, lanjutnya, kalau barang dihentikan misalkan tiga hari saja, itu sudah terdampak terhadap perekonomian. “Apa Kemenhub mau bertanggung jawab terhadap kerugian ekonominya, kan tidak?” tandasnya.
Jadi, menurut mantan Direktur Keselamatan Kementerian Perhubungan ini, jika Kemenhub berani menghentikan angkutan logistik tersebut, mereka juga harus memiliki hitung-hitungan ekonominya. “Mereka kan bisa minta bantuan ke perguruan tinggi untuk menghitung akibatnya,” tambahnya.
Hal itu harus dilakukan Kemenhub, menurut Suripno, karena angkutan barang itu langsung berkaitan dengan ekonomi jangka panjang. Jadi, lanjutnya, kalau barang itu terganggu maka ekonomi akan terganggu juga. “Tapi kalau yang terganggu itu angkutan pribadi atau orang, itu sama sekali tidak mengganggu perekonomian kita. Orang itu fleksibel, bisa menentukan sendiri. Kepentingannya cepat, mereka bisa naik pesawat. Tapi, kalau barang tidak bisa begitu. Barang harus diatur oleh pemerintah sehingga efisien. Itu prinsipnya,” ucapnya.
Harusnya, tegas Suripno, kalau mau ada pembatasan sehari atau sekian jam saja, berapa kerugian nasional yang ditimbulkannya harus dihitung terlebih dulu. “Tapi, nyatanya sampai sekarang kan belum ada bukti bahwa itu sudah dihitung dan seakan dibiarkan saja kerugian ekonominya,” tandasnya.
Harus Ada Kajian Ilmiah
Jadi, katanya, dalam membuat kebijakan pelarangan terhadap angkutan logistik pada hari-hari besar keagamaan itu harus ada kajian ilmiahnya. Dalam kajian tersebut perlu dicari tahu semua sisi positif dan negatif dari kebijakan itu. Di antaranya, kenapa harus dilarang, berapa kerugian ekonomi akibat pelarangan tersebut. “Itu perlu pembuktian semua, sehingga bisa diambil keputusan mana yang paling baik, pelarangan atau tidak. Makanya itu perlu dibuktikan dengan kajian. Nah, kesimpulan ini juga bisa menjadi SOP dalam kondisi kritis seperti momen-momen hari besar, di mana cara mengujinya sama,” tukasnya.
Baca juga: Pelarangan Truk AMDK di Hari-hari Besar Keagamaan Picu Kelangkaan dan Komplain Masyarakat
Karenanya, menurut Suripno, penataan untuk logistik itu tidak bisa dilakukan sendiri. “Tidak bisa hanya jalan begitu saja,” ucapnya.
Dia juga meminta Kemenhub mengkaji lagi kebijakan pelarangan ini mengingat pada hari libur panjang Idul Adha baru-baru ini ternyata tidak terjadi kemacetan jalan meski tidak diterapkan kebijakan pelarangan saat itu. “Nah, ini kan perlu dikaji lagi, ternyata tidak dilarang malah benar. Kenapa kalau dilarang malah terjadi kemacetan. Ini harus dianalisis lagi,” katanya./