JAKARTA, Bisnistoday – Teknologi Operasional (OT) merujuk pada penggunaan hardware dan software untuk menjalankan sistem di berbagai lingkungan industri seperti Industrial Control Systems (ICS), Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA), dan Process Control Network (PCN). Sistem ini memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan sistem IT karena kerentanan terhadap serangan siber yang meningkat. Seiring dengan berkembangnya digitalisasi di berbagai sektor, ancaman terhadap OT menjadi semakin kompleks, terutama ketika terhubung ke jaringan global yang melibatkan banyak pihak.
Nyoman Susila, Managing Director TÜV Rheinland Indonesia, seiring terbitnya Perpres No. 82 Tahun 2022 tentang Perlindungan Infrastruktur Informasi Vital (IIV) pembahasan mengenai risiko kejahatan siber di infrastruktur OT makin penting. “Kami ingin memberikan informasi terkait apa itu keamanan teknologi operasional, risiko yang dihadapi, dan strategi untuk memastikan keamanan infrastruktur OT kita,” jelas Nyoman.
Hal ini diungkapkan Nyoman saat seminar bertajuk “Securing the Core; Empowering Critical Sector with OT Security”. Acara yang diselenggarakan, baru-baru ini. Seminar ini, diikuti lebih dari 200 peserta dari berbagai sektor industri, pemerintah, dan akademisi, serta menampilkan para pemimpin industri dan pakar keamanan siber yang berdiskusi tentang pentingnya pengamanan teknologi operasional (OT) di sektor-sektor kritis yang mendukung infrastruktur vital Indonesia.
Y.B. Susilo Wibowo, Sekretaris Utama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengutarakan, data Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik, sektor industri menyumbang 18,67% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2023 dan 26,9% dalam pajak negara. “Peningkatan besar dalam sektor ini harus diimbangi dengan keamanan yang memadai untuk teknologi yang berkembang,” ujar Susilo.
Susilo juga menekankan pentingnya penguatan OT di sektor-sektor vital yang ditetapkan dalam Perpres No. 82 Tahun 2022. “Keamanan OT di sektor IIV harus mendapat perhatian khusus untuk mencegah gangguan yang bisa berdampak luas pada aktivitas dan perekonomian masyarakat.”
Senada dengan itu, Manuel Diez, Global Field Manager I.07 Cyber Security and Functional Safety dari TÜV Rheinland, menjelaskan lebih lanjut mengenai resiko gangguan tersebut. “Indonesia saat ini menghadapi lebih dari 3.300 serangan siber setiap minggu” ujarnya. Secara global, Manuel menyebut, kerugian akibat kejahatan siber diperkirakan dapat mencapai hingga triliunan dolar AS pada tahun 2026.
Dia juga menekankan bahwa infrastruktur penting, seperti transportasi dan energi, telah menjadi target serangan ransomware yang menuntut tebusan hingga jutaan dolar. “Ini hanya salah satu contoh dari banyaknya ancaman yang mengincar infrastruktur kritis,” tambah Manuel./