JAKARTA, Bisnistoday – Swasembada energi merupakan salah satu fokus utama dalam rencana kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam 5 tahun ke depan. “Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi,” demikian pernyataan yang disampaikan oleh Prabowo Subianto dalam pidato perdana usai dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8. Presiden Prabowo menekankan dua hal utama dalam rangka mencapai tujuan dimaksud yaitu ketahanan energi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang baik untuk mendukung pembangunan serta kesejahteraan masyarakat.
Ketahanan energi merupakan hal pertama yang menjadi penekanan Presiden Prabowo. Mengutip Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 1 angka 10, Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan Energi dan akses masyarakat terhadap Energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap Lingkungan Hidup.
Salah satu pilar utama yang menopang ketahanan energi selain energi baru dan terbarukan (EBT) adalah sektor hulu migas. Di tengah tantangan transisi energi yang digaungkan secara global melalui Paris Agreement, sektor hulu migas tetap memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Sampai dengan tahun 2050, minyak dan gas bumi diperkirakan akan tetap berkontribusi secara signifikan dalam bauran energi global dikarenakan energi baru dan terbarukan (EBT) masih menghadapi beberapa tantangan baik secara teknis maupun ekonomis untuk dikembangkan.
Tanpa revisi Undang-Undang Migas dan continuous improvement sektor hulu migas, pencapaian target ambisius “swasembada energi” tampaknya akan sulit untuk dicapai.
Selanjutnya Presiden Prabowo juga menekankan tentang pentingnya pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang baik. Salah satu potensi sumber daya yang cukup besar yang dimiliki Indonesia saat ini adalah gas bumi. Dengan potensi migas yang cukup besar tersebut, sektor hulu migas dituntut untuk mempraktikan good governance baik dalam kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi agar dapat mengoptimalkan potensi tersebut untuk memberikan kontribusi yang maksimal bagi perekonomian nasional.
Mengutip hasil kajian ReforMiner Institute, industri hulu migas memberikan multiplier efek yang cukup signifikan bagi perekonomian nasional. Industri hulu migas terhubung dengan sekitar 120 sektor ekonomi dari 185 sektor yang ada. Industri hulu migas menyumbang sekitar 85% dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan berkontribusi 81% dalam penyerapan tenaga kerja di seluruh Indonesia. Jika industri hulu migas tidak beroperasi, potensi kerugian yang akan terjadi mencakup hilangnya PDB senilai Rp420 triliun, penerimaan negara Rp200 triliun, dan investasi sekitar Rp210 triliun.
Peran sektor hulu migas yang cukup strategis dalam pencapaian swasembada energi sebagaimana dimaksud di atas, ditambah dengan tantangan transisi energi melalui kegiatan penanangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) menjadikan sektor hulu migas dituntut untuk terus melakukan contionuos improvement untuk dapat merespons tantangan tersebut. Penyempurnaan aspek people, process, and technology harus terus diusahakan secara konsisten dalam rangka meningkatkan efisiensi dan menciptakan nilai tambah di setiap tahapan eksplorasi dan produksi. Continuous improvement penting untuk memastikan sektor migas Indonesia tetap kompetitif, adaptif, dan agile di tengah volatilitas harga minyak dunia dan tekanan regulasi lingkungan global.
SKK Migas selaku entitas yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan kontrak kerja sama migas, pengawasan operasional kontraktor kontrak kerja sama migas, pengoptimalan produksi migas, dan penciptaan iklim investasi yang kondusif tentunya perlu mendapatkan dukungan dari kementerian terkait selaku pembuat kebijakan. Diperlukan kebijakan yang adaptif yang sejalan dengan arah pengelolaan sektor energi yang telah ditetapkan Presiden Prabowo.
Selain itu, penguatan kelembagaan SKK Migas melalui revisi Undang-Undang Migas dinilai sangat mendesak dalam mendukung pencapaian target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 BCF gas bumi per hari pada 2030 sebagai salah satu milestone ketahanan energi. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 sudah tidak relevan dan sebagian dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.
Kondisi ini menyebabkan revisi Undang-Undang Migas sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum melalui undang-undang yang baru akan memperbaiki iklim investasi, mempercepat eksplorasi, dan memastikan optimalisasi sumber daya migas yang tersedia. Tanpa revisi Undang-Undang Migas dan continuous improvement sektor hulu migas, pencapaian target ambisius “swasembada energi” tampaknya akan sulit untuk dicapai.
Jakarta, 29 Oktober 2024
Oleh : Erwin Kurniawan, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Strategik, Universitas Negeri Jakarta