Oleh Sabpri Piliang, Wartawan Senior
PEMILU Amerika Serikat (AS) tinggal beberapa jam lagi. Penantian waktu ini, seperti tengah menunggu “Kiamat”. Kiamat bagi Ukraina, Gaza, dan juga bagi para wanita AS. Suka, atau tidak suka, semua terkait dengan ‘historical‘.
Harap-harap cemas, tentulah dirasakan warga dunia. Hasil Pemilu Presiden AS menyimpan sejumlah ‘bara’ panas, atau ‘air bening’ yang perlahan dapat menyejukkan ekosistem di sekitar ‘sungai’. Ikan-ikan dan “jasad renik”, menunggu, siapa yang akan datang. Bara, atau air bening?
Sang pemenang Pemilu. Kamala Harris, atau Donald Trump memiliki catatan ‘kaki’ di mata rakyat AS. Itu adalah keniscayaan yang tidak bisa dihilangkan, atau dikaburkan. Harris, atau Trump, punya ” reputasi yang disebut dengan catatan perjalanan. Rakyat AS tahu, siapa Trump dan siapa Harris.
Rakyat AS punya pertimbangan masing-masing untuk menentukan pilihannya.
“Kontes” Pemilu AS, diawasi dan menjadi perhatian dunia. Negara adidaya, yang memiliki “proxy” terbesar di jagat raya. Akan memberi pengaruh bagi ketenangan, atau hiruk pikuk dunia.
Hasilnya, pasti berimplikasi terhadap perdamaian, atau ‘sustainability’ norma positif atau negatif, dalam persepsi masyarakat dunia. AS, selalu menjadi penentu arah dunia. Sejak Perang Dingin masih berlangsung, bahkan setelah ‘idiom’ itu berakhir (1990-an).
Pemilu AS tinggal beberapa jam lagi. Segala daya upaya kedua calon, yang mewakili Partai Demokrat (Kamala Harris) dan Partai Republik (Donald Trump), keras diupayakan menang.
Pemilu ini adalah pertaruhan yang sangat keras. Keras, karena adanya ‘stereotype’, terutama bagi Donald Trump di mata publik AS. Terlebih, itu berbarengan dengan krisis dan konflik Timur Tengah yang sangat menyita perhatian. Sikap kaum wanita terhadap masa lalu Trump, juga memiliki dampak signifikan.
Demo-demo yang berlangsung di AS, menginginkan perang diakhiri. Perang antara Israel dan Palestina, sejatinya akan sangat mempengaruhi, atau setidaknya memiliki dampak keterpilihan: Harris, atau Trump?
Karena itu, sebagai pengamat. Saya tidak terlalu yakin, kedua calon akan masuk secara ‘indepth’, ke dalam “portofolio” Palestina-Israel, kecuali hanya sekadar basa basi.
Kuat serta dominannya Kongres Yahudi dari sisi finansial di berbagai sektor: jasa keuangan, perguruan tinggi, industri film, dan kaum cerdik pandai AS, membuat Trump dan Harris tak berani masuk terlalu jauh ke dalam isu tersebut.
Meski jumlah penduduk Yahudi AS hanya 2,5 persen (dari 100 persen populasi). Namun dari sisi pola piramida, mereka berada di puncak paling atas. Demo-demo besar di berbagai kota AS yang menentang pemboman Israel terhadap Gaza, membuat Harris dan Trump berhati-hati membuat “gimmick” Palestina-Israel.
Ada kecemasan bila Trump menang. Ada harapan bila Harris menang. Itu ada dalam pikiran masyarakat AS, juga publik dunia saat ini. Karena itu, baik Partai Demokrat atau Partai Republik menggelontorkan biaya yang tidak kecil untuk memenangkan kontestasi.
Partai Demokrat betul-betul ‘concern’ untuk menjelaskan kepada penduduk AS yang jumlahnya 332 juta (2022). Tidak kurang dari USD 4,5 milyar telah dikeluarkan untuk mencegah “comeback”nya Donald Trump. Yang menyimpan “amarah”, atas kekalahannya dari Joe Biden di Pemilu lalu.
“Republiken” yang tak mau kalah. Meski biaya kampanye iklannya berada di bawah Demokrat (USD 3,5 milyar), namun popularitas Donald Trump yang kuat (sejak lama), menjadikan para pemilih Trump optimistis akan memenangkan pemilihan.
Meskipun “ada sebuah retak, sehingga cahaya bisa masuk”. Di mana kaum perempuan AS emoh memilih Trump, Trump justru mengundang suka para pemilih pria. Hampir 53 persen pemilih wanita menolak Trump.
Peneliti Senior Brooking Institution Elaine Kamarck (Washington) mengatakan. “Sikap populasi perempuan terhadap pria ini (Donald Trump), akan terlihat dalam pemilihan (Pemilu AS)”. Isu-isu gender dan aborsi, serta masa lalu Trump di dunia wanita, akan menentukan simpatinya dari kaum perempuan.
Jajak pendapat Nasional terbaru “USA Today” (Universitas Suffolk) menyebutkan, kaum perempuan mendukung Kamala Harris (53 %: 36 %). Sementara, Donald Trump mendominasi kaum lelaki, dengan komparasi: 53 %:37% (persen).
Pemilu AS ke-60, tinggal beberapa jam lagi. Pemilu paling sengit, manandai 248 tahun sejarah perjalanan AS, bagi perempuan pertama, bila Kamala Harris memang terpilih.
Dunia menunggu, pasti menunggu. Sejak Presiden pertama AS George Washington yang dilantik 30 April 1789, belum pernah terjadi Presiden AS, seorang perempuan. Mampukah Kamala Harris melakukan revanche kekalahan sejawat Demokrat-nya Hillary Clinton, atas Trump ( Pemilu 2016)?
Kamala Harris (60), yang mantan Senator, dan Jaksa Agung negara bagian California, nyaris tanpa cela. Harris di mata publik AS, tampil elegan dan menarik simpati, juga cerdas.
Masyarakat dunia, mungkin pula rakyat Palestina, bisa jadi lebih menggantungkan sedikit ornamen (harapan), kepada wanita keturunan Asia Selatan ini. Ketimbang Donald Trump (78) yang nampak lebih keras dan sangat kentara membela Israel.
Presiden baru AS, beberapa jam lagi akan diketahui. Tujuh negara bagian (dari 50), akan sangat menentukan siapa yang terpilih: Kamala Harris, atau Donald Trump. Disebut dengan “Electoral College”: Nevada, Wisconsin, Arizona, Michigan, Georgia, Pennsylvania, dan North Carolina, wilayah ini menjadi ajang nasib keduanya.
Apalagi, jauh-jauh hari. Sekitar satu dari empat Republiken berpandangan positif terhadap Trump (23 persen). Bahkan, seperti dirilis oleh Harian Inggris “The Guardian”, 19 persen dari semua Republiken menyebut. “Jika Donald Trump kalah, Pemilu harus dinyatakan tidak sah”. Nah?
Pemilu adalah sebuah pertarungan yang berhubungan dengan temperamental. Kekalahan, meminjam filsuf Aristoteles, akan membuat murung (melancholic), atau sebaliknya. menjadi ‘choleric’ (agresif), lalu marah dan memancing pengikut berbuat rusuh?
Jujur, ada kekhawatiran. Bila Donald Trump kalah oleh Kamala Harris, hal-hal “choleric” sangat mungkin terjadi. Jangan sampai, di tengah rasa “sanguine” (bahagia) dan “phlegmatic” (tenang) rakyat AS dengan terpilihnya Presiden baru, harus menjadi rusuh.
Kita tunggu hasil Pemilunya, yang katanya negara demokrasi terbesar di dunia./