JAKARTA, Bisnistoday – Banjir kembali melanda Kota Jakarta selama 6-8 Juli 2025, menjadi tamparan keras bagi semua pihak terutama Pemprov DKI Jakarta. Hampir seluruh wilayah Jakarta terdampak, mulai dari Jakarta Selatan, Timur, Barat, Utara, hingga Pusat. Informasi lengkap mengenai jumlah korban, kerugian, serta cakupan wilayah terdampak dapat diperoleh melalui data resmi dari BPBD DKI Jakarta.
“Banjir bukan hanya soal air, tetapi tentang keberanian dalam mengambil keputusan, tata kelola yang baik, dan kesadaran kolektif semua pihak. Jakarta tidak boleh terus-menerus menjadi langganan banjir setiap tahun. Kini saatnya mengambil langkah nyata, menyeluruh, dan berani demi masa depan kota yang lebih aman dan layak huni,” ungkap Ketua Masyarakat Pemerhati Jakarta Baru ( Katar ), Sugiyanto, di Jakarta, Rabu (9/7).
“Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang konkret, strategis, dan berani untuk menyelesaikan akar persoalan banjir secara sistematis dan berkelanjutan.”
Permasalahan banjir di Jakarta bukanlah hal baru, namun sejak zaman kolonial Belanda, banjir telah menjadi bagian dari sejarah kota Jakarta. Namun, situasi saat ini semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, serta penyimpangan dalam tata ruang kota. Akibatnya, siklus banjir terus berulang karena lemahnya penanganan, baik dari sisi struktural maupun kultural.
Perlu diketahui, banjir di Jakarta dipicu oleh kombinasi tiga faktor utama: curah hujan ekstrem, air rob dari laut, serta banjir kiriman dari hulu 13 sungai yang bermuara di Ibu Kota. Selain itu, topografi Jakarta turut memperburuk situasi. Wilayah ini didominasi oleh dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 8 meter di atas permukaan laut. Beberapa kawasan, terutama di bagian utara yang berdekatan dengan pantai, bahkan berada di bawah permukaan laut.
“Kondisi tersebut menjadikan Jakarta sangat rentan terhadap genangan dan banjir, baik akibat curah hujan tinggi, air pasang dari laut, maupun banjir kiriman dari daerah hulu — terlebih ketika ketiganya terjadi secara bersamaan.”
Paling mendasar, menurut Sugiyanto, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pejabat yang bertanggung jawab dalam penanggulangan banjir. Jika terbukti lalai atau gagal menjalankan tugas, mereka harus dicopot dari jabatannya. Ini penting sebagai bentuk akuntabilitas dan untuk membangun budaya kinerja berbasis hasil. Penanganan banjir tidak bisa lagi bersifat reaktif atau sekadar ceremonial saat bencana datang.
Sugiyanto juga mengatakan, ada beberapa langkah teknis mengatasi banjir, seperti normalisasi drainase, pengerukan kali, optimalsiasi bendungan Ciawi Sukamahi, tanggul laut utara Jakarta, aturan pembuangan sampah, dan pembentukan sumur resapan, sekaligus pengurangan pengambilan sumur tanah, dan masih banyak lainnya.”Ini semua butuh keberanian, dan ketegasan.”
Bangun Penampungan Air
Sugiyanto juga meminta Pemprov DKI Jakarta segera melakukan kajian pembangunan terowongan bawah tanah (underground reservoir). Kota-kota besar dunia seperti Tokyo dan Kuala Lumpur telah membuktikan efektivitas sistem ini dalam menampung air hujan dalam jumlah besar tanpa mengganggu aktivitas di permukaan kota.“Beberapa negara di dunia telah membangun sistem modern untuk mengatasi banjir, dan pendekatan serupa perlu dikaji untuk diterapkan di Jakarta.”
Negara-negara seperti Jepang dan Malaysia, misalnya, menggunakan sistem underground reservoir (penampungan air bawah tanah) sebagai solusi pengendalian banjir. Tokyo memiliki Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel (MAOUDC), yang dikenal juga sebagai “Katedral Bawah Tanah”. Sementara itu, Malaysia mengoperasikan SMART Tunnel (Stormwater Management and Road Tunnel), sebuah terowongan multifungsi yang berfungsi sebagai jalan raya dan saluran air./




