JAKARTA, Bisnistoday – Setiap 8 Juni, seluruh dunia memperingati momentum tersebut sebagai “World Ocean Day” atau Hari Luat Sedunia. Konsep Hari Laut Sedunia diusulkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi/Earth Summit) di Rio de Janeiro di tahun 1992.
Hari Laut Sedunia ini menjadi momentum penting untuk terus mengingat bahwa 70% total luas permukaan planet bumi adalah laut sehingga sangat penting untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan laut beserta ekosistem yang ada di dalamnya.
Dalam 2 tahun terakhir, suhu permukaan laut di dunia mengalami lonjakan yang cepat. Dalam laporan Climate Reanalyzer University of Maine, Amerika Serikat, di 2023 kenaikan suhu permukaan laut terjadi secara cepat pada awal Maret 2023. Bahkan pada di bulan April 2023, suhu permukaan air laut mencapat rekor tertinggi yaitu 21,1 celcius.
Rekor ini mengalahkan rekor suhu permukaan air laut yang rata-rata mencapai 21 celcius pada bulan maret 2016. Meningkatnya suhu permukaan laut berhubungan dengan pemanasan global yang saat ini tengah terjadi, bahkan telah melebihi 1,5 celcius selama periode Februari 2023 hingga Januari 2024. Bahkan 2023 telah dinyatakan sebagai tahun terpanas dalam sejarah.
Wilayah yang paling terdampak dengan pemanasan global dan peningkatan suhu permukaan air laut adalah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain telah dibebankan pembangunan yang bercorak ekstraktif dan eksploitatif, seperti proyek pertambangan mineral maupun pasir laut, penimbunan pantai/reklamasi, ekspansi hutan tanaman industri (HTI), wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini tengah menghadapi dampak dari perubahan iklim.
Beberapa di antaranya adalah meningkatnya intensitas banjir rob bahkan di pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Spermonde (Sulawesi Selatan), Pulau Pari (DKI Jakarta), bahkan munculnya siklon tropis seroja di Nusa Tenggara Timur di tahun 2021.
Ancaman Masyarakat Pesisir
Saat ini terdapat beberapa ancaman yang datang sekaligus bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, yaitu pertambangan nikel yang dibungkus dengan konsep hilirisasi nasional, pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut, penangkapan ikan terukur yang akan memarjinalkan nelayan tradisional, ekspor benih bening lobster dengan dalih penempatan untuk budidaya, hingga industri konservasi yang merebut ruang-ruang pengelolaan tradisional nelayan dan masyarakat pulau kecil.
Dampaknya adalah keberlanjutan ekologis sekaligus keberlanjutan sosial-ekologi-ekonomi masyarakat pesisir yang dalam ancaman serius, bahkan dalam jangka panjanga dapat menghilangkan profesi nelayan tradisional di Indonesia. Hal tersebut karena nelayan dan masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan dan kehidupan mereka.
Berkaitan dengan World Ocean Day/Hari Luat Sedunia, yang lahir dalam Earth Summit di Rio de Janeiro di tahun 1992, juga disertai dengan lahirnya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang terkandung dalam Deklarasi Rio 1992.
Dalam konteks pembangunan di wilayah pesisir dan pulau kecil hari ini, pemerintah belum maksimal menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam tata kelola pesisir dan laut serta pulau kecil. Ini merupakan prinsip utama untuk mencegah kerusakan ekologi di wilayah pesisir dan laut serta pulau kecil yang akan berdampak kepada keberlanjutan sosial-ekologi-ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.
Selain menyoroti masifnya pembangunan ekstraktif dan eksploitatif dan belum maksimalnya penerapan prinsip kehati-hatian, KIARA juga menyoroti persoalan pengakuan Pemerintah terkait konservasi berbasis masyarakat yang merupakan investasi yang telah dijalankan masyarakat lokal.
Kearifan Lokal Masyarakat
Sebagaimana diketahui, berbagai entitas masyarakat pesisir dan pulau kecil telah menjalankan konservasi yang secara langsung telah berdampak terhadap keberlanjutan ekosistem di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Dalam konteks menjaga keberlanjutan ekologi di pesisir, laut dan pulau kecil, masyarakat pesisir dan pulau kecil telah melakukan investasi besar dan turun temurun dengan cara mengelola dan memanfaatkan hanya sebatas pada kebutuhan mereka. Investasi berbasis masyarakat dapat dilihat secara konkrit di Aceh oleh Panglima Laot, di Sulawesi Tenggara dalam bentuk Kaombo dan Sasi, dan diberbagai tempat lain yang dilakukan baik secara individu maupun komunal.
Pengakuan investasi ini yang seharusnya diakomodir pemerintah dalam satu kebijakan yang bertujuan untuk melindungi setiap upaya yang telah masyarakat bahari lakukan untuk menjaga keberlanjutan ekologi di wilayah mereka. Ibu adalah laut, menjaga laut adalah menjaga kehidupan!/
Jakarta, 8 Juni 2024
Oleh : Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati