JAKARTA, Bisnistoday – PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon) memaparkan hasil laporan pasar bulanan, Market Color yang diterbitkan oleh tim Ekonom Danamon pada November 2024, bahwa perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 4,95% YoY pada kuartal ketiga 2024, lebih rendah dari proyeksi 5%. Tidak tercapainya proyeksi pertumbuhan ini, sebagian besar akibat daya komsumsi melemah.
Dari laporan tersebut, perlambatan ini terutama dipengaruhi oleh daya mengecil konsumsi rumah tangga, yang hanya menyumbang 4,91% terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia, berada di bawah rata-rata historis akibat penurunan daya beli masyarakat dan peningkatan tingkat pengangguran hingga 31% secara tahunan.
Sementara, Bank Indonesia (BI) konsisten menerapkan kebijakan makroprudensial yang longgar untuk mendorong pertumbuhan kredit, dengan fokus khusus pada sektor-sektor prioritas seperti UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan ekonomi hijau.
Menurut Hosianna Evalita Situmorang, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, “Upaya ini ditujukan untuk mendukung aktivitas ekonomi dan memastikan penyaluran kredit yang berkelanjutan pada sektor-sektor utama perekonomian.”
Namun, lanjutnya, penting untuk dicatat bahwa peluang pemangkasan suku bunga lebih lanjut semakin terbatas. Peluang Penurunan Suku Bunga AS tidak terlalu agresif menjadi lebih rendah: Sebelumnya, pada September 2024, diperkirakan akan ada pemotongan suku bunga Fed sebesar 100 bps pada 2024 dan 2025, diikuti dengan 50 bps pada 2026. Namun, per kondisi November 2024, peluang penurunan suku bunga AS semakin kecil. FFR diproyeksikan berada di 4,5% pada Desember 2024, 4% pada Desember 2025, dan 3% pada Desember 2026.
Dengan berkurangnya peluang pemangkasan lebih lanjut, Bank Indonesia (BI) mungkin memiliki lebih sedikit ruang untuk pelonggaran kebijakan. Hal ini meningkatkan potensi pemulihan ekonomi yang lebih lambat pada tahun 2025, yang bisa melemahkan prospek pertumbuhan. Oleh karena itu, kebijakan penurunan suku bunga BI yang tepat waktu akan sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memulihkan kepercayaan konsumen.
Hanya saja, lanjut Hosianna Evalita, pada tingkat global, dinamika ekonomi semakin kompleks menyusul hasil pemilu Amerika Serikat yang kembali memenangkan Donald Trump sebagai Presiden. Penguatan dolar AS, kenaikan UST yield, dan volatilitas di pasar saham internasional menjadi tantangan tambahan bagi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ditekahui, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) di akhir November 2024, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI7DRR sebesar 6% guna menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian global dan volatilitas pasar keuangan. Prioritas bank sentral tetap pada upaya menstabilkan nilai tukar Rupiah dalam jangka pendek mengingat kondisi ekonomi global yang terus berfluktuasi./