JAKARTA, Bisnistoday – Pemerintahan baru suka tidak suka akan dihadapkan pilihan sulit sehingga terpaksa menjalankan program yang revolusioner. Tanpa ada gebrakan, pertumbuhan ekonomi nasional hanya ngetem pada level 5%. Begitupun, tanpa kebijakan outward looking, maka Indonesia bakal terjebak di pendapatan per kapita di Lower Middle Class Income.
“Apabila bisa tumbuh 6,5% – 7% itu satu hal yang baik tapi jika hanya 5% ke bawah, Indonesia tidak akan bisa kemana-mana dan tetap jadi middle income country di level bawah. “Jika ingin berhasil, juga harus ada tim yang super dan tidak politicking atau techno politician yang bukan politisi tapi teknokratis. Bukan politisi memble yang tidak punya wawasan dan visi” cetus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini.
Didik mengatakan saat diskusi bertajuk “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi), baru- baru ini di Jakarta.
Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 7 %– 8% di era Prabowo tentu tidak mudah dicapai, bahkan mustahil jika tidak ada strategi kebijakan yang optimal. Indonesia harus menjalankan kebijakan outward looking yang targetnya adalah bersaing di pasar internasional dengan meningkatkan produktivitas dikancah global.
Industri Manukfaktur
Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S. Damanhuri memberi perhatian terhadap kinerja industri manufaktur yang terus memperlihatkan kemunduran luar biasa. Saat era reformasi dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% tetapi pertumbuhan industrinya sekitar 4%.
“Berdampak pada kesempatan kerja yang diberikan, jadi mereka yang tidak dapat masuk pada dunia kerja maka masuk kepada sektor informal. Model sistem politik sebagai ekosistem industri manufaktur berkembang, karena sistem politiknya juga tidak mendukung” jelasnya.
Didin menilai pada saat zaman Jokowi ada nawacita, tetapi tidak nampak juga industrialisasi policy-nya dimana pembangunan dari pinggiran dan lain sebagainya. Bagitupun, perencanaannya melalui pengembangan infrastruktur dan lain sebagainya juga tidak ada di janji pemilu hingga RPJMN. Lihat saja, pembangunan tol ribuan kilometer, kereta cepat hingga IKN?
“Jadi situasi 10 tahun terakhir Indonesia mengalami proses diindustrialisasi yang sangat radikal, di akhir pemerintahan Jokowi bahkan dibawah 18%. Hilirisasi terjadi, tetapi pada praktiknya hanya dilaksanakan untuk nikel, tetapi mengandung kontroversi yang luar biasa di mana perusahaan China yang memiliki tenaga kerja kasarnya warga negara China” tukas Didin.
Menurutnya, Indonesia saat ini di bawah Malaysia apa lagi dengan Singapura. Bukan disebabkan karena kurangnya sumber daya alam dan expertise. Tetapi Indonesia terjebak pada perusakan ekologi dan marginalisasi ekonomi rakyat.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengutarakan, sepanjang sejarah, Indonesia hanya 5 kali mencapai di atas 8% pertumbuhan ekonominya di mana hal tersebut disebabkan oleh sektor energi perminyakan.
industri manufaktur malah mengecil, sehingga supaya angka per kapita tetap tinggi atau tumbuh, maka yang lebih digenjot adalah sumber daya alam, infrastruktur, transportasi, Pelabuhan, kota baru dan sebagainya. Permasalahannya ketika manufaktur tidak memproduksi barang, maka industri jasa ini menggunakan barang-barang impor.
Terlebih, saat ini Indonesia menempati ranking ke 15 dalam proven reserved 6 minerba utama senilai USD 5,5 triliun, karena populasinya besar jika dibagi per kapita maka Indonesia menempati ranking ke 39 di dunia dengan nilai USD 19.600.
“Jelas harus di hemat dan berhati-hati, karena tidak bisa mensejahterakan 280 juta rakyat Indonesia, bukan mensejahterakan rakyat-rakyat tertentu yang kita sebut dengan oligarki.”/