DEPOK, Bisnistoday – Dengan tema besar “Dokumenter dan Sejarah: Merekam Memori Kolektif Bangsa Indonesia,” kegiatan ini menjadi puncak dari rangkaian History Fair yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Acara menghadirkan sesi talk show dan kritik film terhadap dokumenter berjudul “Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan.” Film ini menyoroti potret dari perjalanan film di Indonesia dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi yang dikemas dalam bentuk kolase.
Acara dimulai dengan rangkaian sambutan dari Wakil Dekan FIB UI, Kaprodi Ilmu Sejarah, Ketua SKS UI 2025 Arina Syarfa Kurnadi, dan Ketua Pelaksana Bella Rosemarry Catherine Hangge. Dalam sambutannya, Arina menegaskan,
“Butuh proses dan kerja keras untuk sampai di tahap ini. Seluruh panitia dan peserta berperan penting menjadikan History Fair sebagai ruang belajar sekaligus tempat berekspresi bagi generasi muda yang mencintai sejarah,” ujar Arina.
Usai memberikan sambutannya pada acara ini dilanjutkan dengan menayangkan film dokumenter yang di sutradarai oleh Yuki Aditya dan I Gde Mika yang menyorot perjalanan menyorot perjalanan dokumenter Indonesia dalam merekam peristiwa penting nasional.
Acara dilanjutkan dengan diskusi panel bertema “Tantangan dan Peluang Pembuat Film Muda dalam Menggarap Dokumenter Sejarah dan Sosial.” Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Didik Pradjoko, S.S., M.Hum dari Departemen Sejarah UI dan JJ Rizal, sejarawan sekaligus penulis.
Keduanya menyoroti persoalan klasik dalam dunia dokumenter, terutama mahalnya biaya produksi dan sulitnya akses terhadap arsip sejarah seperti rekaman Presiden Soekarno yang tersimpan di Library of Congress. Dr. Didik menekankan bahwa kekuatan sebuah dokumenter tidak hanya terletak pada aspek visual, tetapi juga pada kedalaman riset yang menjadi pondasinya.
“Riset yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat perlu mendapatkan dukungan serius. Dokumenter yang bermutu lahir dari pengetahuan dan pengawasan yang matang,” ujarnya.
Senada dengan itu, JJ Rizal menambahkan bahwa dukungan nyata berupa subsidi, kolaborasi dengan lembaga pendidikan, serta keterlibatan pemerintah sangat dibutuhkan agar sineas muda dapat mengakses sumber sejarah dan pendanaan produksi. Ia juga menilai pentingnya ruang komunitas agar karya-karya dokumenter mahasiswa dapat lebih sering ditayangkan di ruang publik dan diapresiasi luas.(E2-ZH)




