JAKARTA, Bisnistoday – Ekonom Mirae Asset Sekuritas kembali mengingatkan dampak pelemahan perekonomian global terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terutama pengaruh terhadap tekanan ekonomi Tiongkok yang masih terjadi serta ancaman krisis ekonomi Amerika Serikat.
“Secara historis, pemilu tidak terlalu meningkatkan perekonomian dalam negeri. Banyak faktor yang memiliki dampak lebih signifikan, terutama perekonomian global. Kami yakin bahwa dampak perekonomian global, khususnya perlambatan Tiongkok akan memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap perekonomian Indonesia,” ungkap Rully Arya Wisnubroto, Senior Economist Mirae Asset Sekuritas di Jakarta, kemarin.
Ia mengutarakan, Pemilu masih akan memberikan dampak positif, namun mengingat perekonomian global sedang melambat, yakin perekonomian Indonesia akan melambat pada tahun ini. “Selain itu, kami memperkirakan akan terjadi perlambatan pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (Gross Fixed Capital Formation/GFCF) selama pemilu,” tuturnya.
Mengenai prospek makro ekonomi 2023 – 2025, Rully mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan moderat namun tetap solid pada 4,88% tahun 2023 ini. Mirae Asset memperkirakan perekonomian Indonesia akan terus mencatat pertumbuhan yang solid, meskipun moderat pada perkiraan 2023 menjadi 4,88% karena siklus pengetatan moneter tahun lalu.
“Kami yakin konsumsi rumah tangga akan tetap solid, didukung oleh inflasi yang lebih terkendali dan kebijakan BI dan pemerintah yang akomodatif,” terangnya.
Kondisi AS dan Tiongkok
Secara lebih detail, Rully memaparkan, perekonomian Tiongkok terus menunjukkan keragu-raguan dalam pemulihannya seiring dengan ekspor dan sektor properti melemah. Sebaliknya, indikator-indikator perekonomian Tiongkok mencerminkan perlambatan yang signifikan dalam jalur pemulihannya.
“Indikasinya adalah data perdagangan internasional Tiongkok yang menunjukkan kontraksi dua digit pada ekspor dan impor, mencatat penurunan masing-masing sebesar 14,5% (YoY) dan 12,4% (YoY) di bulan Juli.
Tidak hanya kondisi eksternal, menurut Rully, perekonomian domestik juga menunjukkan percepatan pelemahan. Consumer Price Index (CPI) Tiongkok turun 0,3% YoY di bulan Juli karena melemahnya permintaan domestik, sedangkan untuk inflasi Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI), Tiongkok mencatat deflasi dalam 10 bulan terakhir.
Inflasi dan Pengangguran AS
Begitupun, lanjut Rully, kondisi perekonomian Amerika Serikat juga semakin kritis. Pengakuan Ketua Federal Reserve Jerome Powell menggarisbawahi perlambatan inflasi AS yang sedang berlangsung. “Inflasi PCE inti yang dipantau secara ketat, yang merupakan indikator utama bagi The Fed, secara bertahap telah turun menjadi 4,3% YoY pada bulan Juli, masih melampaui target The Fed sebesar 2,0% YoY.”
Begitupun, tanda-tanda melemahnya pasar tenaga kerja AS, seiring dengan meningkatnya tingkat pengangguran. Mengingat tingkat pengangguran AS yang lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Agustus menjadi 3,8% (vs konsensus 3,5%), terdapat spekulasi yang berkembang bahwa The Fed mungkin telah menyelesaikan kenaikan suku bunga kebijakannya.
Memprediksi keputusan Fed pada pertemuan The Federal Open Market Committee (FOMC) bulan September 2023 ini, Rully memastikan The Fed belum mengambil keputusan mengenai kebijakan suku bunga pada pertemuan FOMC. “Untuk mengambil keputusan ini, The Fed akan memantau dengan cermat data yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan inflasi dan lapangan kerja.”
Ia menambahkan, pertemuan FOMC bulan September seringkali penting karena mencakup rilis dan “dot plot”, yang secara visual mewakili ekspektasi masing-masing anggota FOMC terhadap suku bunga kebijakan di masa depan. “Dot plot terbaru dari Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) SEP bulan Juni menunjukkan kenaikan suku bunga lagi tahun ini, sehingga kisarannya menjadi 5,5% hingga 5,75%.”/