JAKARTA, Bisnistoday- Terkait usaha investasi berkedok koperasi bodong atau entitias ilegal yang tercatat antara tahun 2017-2020, hingga sekarang baru tercatat sebanyak 158 usaha financial technology (fintech) yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Semua fintech tersebut tidak ada yang berbadan hukum koperasi, sehingga apabila terdapat koperasi yang melakukan fintech, maka hal tersebut adalah illegal.”
Tongam L Tobing
“Semua fintech tersebut tidak ada yang berbadan hukum koperasi, sehingga apabila terdapat koperasi yang melakukan fintech, maka hal tersebut adalah illegal,” ungkap Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI), Tongam L. Tobing dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/7).
Lebih lanjut, Tongam mengatakan, beberapa tahun belakangan jumlah lembaga keuangan ilegal berbasis digital mengalami tren perkembangan, dengan perkiraan total kerugian masyarakat dari tahun 2009 hingga 2019 mencapai angka Rp 92 Triliun. Kerugian masyarakat tersebut tidak di-cover oleh aset yang disita dalam rangka pengembalian dana masyarakat.
Disisi lain, menurut Tongam, maraknya investasi ilegal disebabkan banyaknya permintaan masyarakat akan jasa keuangan yang diikuti dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan investasi ilegal, penawaran bunga tinggi, dan penggunaan tokoh agama, tokoh masyarakat serta selebriti sebagai media propaganda agar masyarakat bergabung dalam investasi tersebut.
Sementara, terang Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) ini, modus penipuan berkedok koperasi memiliki ciri sebagai berikut, pertama, penawaran melalui berbagai media seperti SMS (link atau nomor telepon), situs, media sosial, Google Play Store, atau Apps Store.
Kedua, menggunakan nama “KSP” atau “koperasi”, namun tidak memiliki pengesahan Badan Hukum dan/atau izin usaha dari kementerian yang berwenang. “Ketiga, pencatutan nama koperasi berizin dan/atau terkenal sehingga menimbulkan rasa percaya. Keempat, menyatakan “Sudah Terdaftar atau Diawasi”, seakan-akan sudah dalam pengawasan instansi berwenang,” tuturnya.
Selain itu, menurut Tongam, praktik koperasi bodong ini dengan cara menggunakan logo koperasi Indonesia atau Kementerian Koperasi dan UKm. Koperasi bodong ini, seakan-akan benar-benar berbentuk koperasi atau berkaitan dengan kementerian. Demikian juga, berbadan hukum, tapi kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip koperasi,” tuturnya.
Koperasi Ilegal
KemenkopUKM fokus melakukan penguatan pengawasan koperasi demi membangun kepercayaan masyarakat dan kepercayaan diri koperasi dalam menjalankan usahanya. Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Pengawasan KemkopUKM, Ahmad Zabadi di Jakarta, Senin (20/7).
Ia mengatakan, salah satu yang dilakukan ke depan adalah, pertama, dukungan regulasi, berupa, pertama, RUU Perkoperasian dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dimana KemkopUKM memberikan tiga usulan penambahan rumusan RUU Cipta Kerja yaitu pengaturan sistem pengawasan koperasi, penetapan lembaga penjamin simpanan anggota koperasi, dan penetapan adanya sanksi pidana dan denda.
Kedua, pelaksanaan pengawasan dengan standar yang sama, terintegrasi, dan digitalisasi, melalui regrouping eksisting regulasi terkait kelembagaan dan usaha koperasi berbasis potensi risiko (Buku I, II, III, IV), Good Corporate Governance, dan kinerja. Ketiga, adalah percepatan pengisian jabatan fungsional pengawas koperasi provinsi/ kabupaten/kota. Keempat, penguatan kerja sama dengan otoritas pengawas lain seperti Ombudsman, BI, PPATK, OJK, KPPU, dan POLRI.