JAKARTA, Bisnistoday – Indonesia masih menghadapi jalan terjal yang sulit untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Untuk mencapainya, diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekitar 7-8% per tahun. Pengamat ekonomi politik memperkirakan, butuh upaya keras untuk mendongkraknya, karena investasi di Indonesia belum efisien.
ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia dari tahun ke tahun menjadi relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Ini mencerminkan ekonomi yang boros. Di mana investasi di Indonesia berbiaya tinggi, tidak efisien,” ujar Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, saat Diskusi Panel INDEF “Konflik SDA, Tanah dan Hambatan Investasi,” di Jakarta, Rabu (11/12).
Seperti diketahui bahwa ICOR merupakan angka rasio yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan output. Tingginya atau ketidakefienan investasi ini karena terbelenggu adanya prakti Crony Capitalism.
“Crony Capitalism terjadi di Indonesia di mana orang-orang terkaya mendapatkan banyak kesempatan menambah pundi-pundi ekonomi melalui bantuan para kroni yang mempermudah praktik-praktik bisnisnya. Yang paling banyak adalah dari sektor SDA batubara, kayu, sawit, nikel, oil and gas.”
Menurutnya, Crony Capitalism itu juga berakibat terjadinya konflik sosial pertanahan yang semakin marak, akibat tidak dipatuhinya hukum kepemilikan/hak hak atas tanah invididu dan tanah adat oleh pelaku ekonomi konglomerasi. “Konflik-konflik tersebut harus disadari akhirnya akan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi suatu negara,” tukasnya.
Peneliti PCRC, Emir Chairullah mengutarakan, terjadi konflik lahan sumber daya alam di Indonesia terutama untuk investasi baru yang bermula dari tidak adanya kesepakatan dalam pembebasan lahan antara individu beserta tanah adat. Konflik tersebut kini telah menjadi perhatian internasional.
“Akar masalah konflik SDA dan Tata Ruang di Indonesia berakar pada kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan pembangunan infrastruktur besar, tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Hal ini diperparah dengan penetapan proyek strategis nasional yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.”
Terjebak di Kelas Menengah
Imaduddin Abdullah menjelaskan, sejak 2023 Indonesia telah masuk ke dalam negara Upper middle income countries, tapi untuk masuk ke high income countries masih jauh. Karenanya, perlu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
“Dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 7 – 8 % per tahun jika ingin masuk ke dalam kelompok negara-negara high income countries. Keinginan pemerintahan Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% per tahun banyak sekali tantangannya. Dari catatan sejarah, negara lain pun kesulitan mencapai angka GDP 7-8%, kecuali China,” urainya.
Kerena itu, bonus demografi Indonesia harus memberikan manfaat pendorong ekonomi nasional. Apabila tidak mampu memanfaatkan ini, maka sulit untuk menuju high income countries. “Ini akan seperti negara-negara di dunia termasuk di Amerika latin yang kehilangan bonus demografi, menjadi bangsa yang ‘’tua sebelum kaya’’ karena ketiadaan tenaga-tenaga muda produktif.”/