JAKARTA, Bisnistoday- Menteri Koperasi dan UKM Teten tidak menampik adanya koperasi yang bermasalah di Indonesia. Bahkan, dirinya menganggap hal itu sebagai pekerjaan rumah yang harus segera diperbaiki.
“Karenanya, kita sedang melakukan reformasi pengawasan koperasi dengan diterbitkannya Permenkop Nomor 9 Tahun 2020, yang sudah ditetapkan pada 14 Oktober 2020 lalu,” ungkap Teten, dalam rilisnya di Jakarta, Senin (9/11).
Hanya saja, MenkopUKM juga meminta masyarakat luas agar bersikap adil. Pasalnya, terkait penyimpangan dan praktek usaha ilegal/investasi bodong, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang tiga tahun teralhir (2017-2020) telah terjadi praktek investasi bodong/ilegal sebanyak 1200 lebih perusahaan non koperasi.
“Sementara dalam catatan OJK selama lima tahun dari 2015 hingga 2020 ada delapan koperasi yang masuk praktek investasi bodong,” tandas MenkopUKM.
Pertanyaannya, mengapa yang diangkat dan terus dipermasalahkan adalah koperasi? Sebaliknya, yang bukan koperasi tidak banyak dipersoalkan. “Saya kira ini tidak adil,” tegas Teten.
Lebih jauh lagi, Teten pun menjabarkan garis besar perubahan sistem pengawasan yang tertuang dalam aturan baru tersebut. Dimana Permenkop ini memastikan empat hal.
Pertama, implementasi tujuh prinsip koperasi. Kedua, kepatuhan koperasi kepada peraturan (compliance based). Ketiga, kehati-hatian penyelenggaraan keuangan termasuk AML/CFT (prudention & risk based).
Keempat, pengelompokkan pengawasan dan pemeriksaan koperasi dalam empat Klasifikasi Usaha Koperasi (KUK). “Kalau di perbankan dikenal dengan istilah Bank dalam kelompok Buku 1, 2, 3 dan 4,” kata Teten.
Hal ini karena jumlah koperasi banyak dan tersebar, maka bobot pengawasan juga dibagi menjadi empat Klasifikasi Usaha Koperasi (KUK) atas dasar aset, modal dan jumlah anggota. Pengawasan untuk klasifikasi 3 dan 4 lebih ketat dari pada yang klasifikasi 1 dan 2.
Pengawasan pada klasifikasi 1 dan 2 lebih ditekankan pada pembinaan tatakelola/manajemen, sedangkan pada klasifikasi 3 dan 4 pengawasan dilakukan berbasis resiko.
Di samping itu, lanjut Teten, bagi koperasi klasifikasi 3 dan 4, Pengurus dan Pengawas sebelum dipilih dalam Rapat Anggota harus melalui proses uji kelayakan dan kompetensi (fit and propper recomendation).
Karena struktur pengawas koperasi berbeda dari model OJK dan BI yang berdasarkan komando terpusat, maka pengawasan koperasi akan dilakukan dengan melibatkan Jabatan Fungsional Pengawas Koperasi (JFPK) yang didasarkan pada uji kompetensi secara berkala.
“Sehingga, diharapkan bisa terwujud sistem pengawasan yang lebih terkoordinasi terhadap koperasi skala nasional, koperasi skala propinsi, dan koperasi skala kabupaten/kota,” papar MenkopUKM.
Untuk itu, dalam Permenkop 9/2020 juga ditegaskan perlunya kerjasama dengan otoritas pengawas yang lain. Yaitu, bekerjasama dengan BI apabila Koperasi menyelenggarakan
Payment Point Online Bank (PPOB).
Lalu, bekerjasama dengan OJK untuk pengawasan koperasi yg berada dalam konglomerasi keuangan.
Tak ketinggalan, bekerjasama dengan PPATK untuk memastikan
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT) secara efektif di koperasi.
“Ke depan, hemat saya, Penilaian Kesehatan Koperasi merupakan prasyarat dlm proses assessment pembiayaan LPDB KUMKM,” tukas Teten.
Di samping itu, Teten menekankan bahwa pihaknya akan bangun JFPK memiliki kompetensi yang cukup untuk menjalankan tugas mereka.
“Tentu bukan pekerjaan mudah,
tapi kami yakin dengan diberlakukannya PermenkopUKM No. 9 Tahun 2020, pengawasan koperasi akan menjadi lebih efektif dalam rangka mewujudkan koperasi yang sehat dan mandiri,” pungkas MenkopUKM./