JAKARTA, Bisnistoday – Pemerintah dituding tidak memiliki alasan yang kuat (evidence) untuk melambungkan utang dengan alasan Covid-19 saat bergejolak pada 2020 lalu. Utang pemerintah berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang direncanakan Rp650 triliun bisa melompat hingga Rp 1.541 triliun. Celakanya juga, dana utang jangka panjang ini, disinyalir jadi bancakan para elit.
“Pada 2019, perencanaan sebelum ada Covid 19, utang SBN dianggarkan Rp 650 triliun, tapi karena ada pandemi covid 19 dibuat menjadi Rp1541 triliun. Padahal, dua per tiga pemerintahan tidak bisa berjalan karena wabah. Jadi ‘’pesta’’ paling besar dari birokrasi justru di era covid 19,” ungkap Didik J Rachbini.
Didik J Rachbini yang juga Rektor Univ.Paramadina ini, mengungkapkan saat diskusi publik dengan tema “Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar” yang diadakan secara hybrid melalui zoom meeting dan bertempat di ruang Granada, Universitas Paramadina Jakarta pada Kamis (11/7).
Pengamat Ekonomi Senior ini mengungkapkan, bahwa pada 2024 utang zama Presiden SBY Rp2600 triliun kemudian utang periode sekarang Rp8.300 triliun, yang patut menjadi pertanyaan adalah atas dasar apa utang bisa naik sedemikian tinggi? Rupanya dasarnya berdasar pada defisit APBN sehingga kemudian dihitung-hitung menjadi dasar dari menaikkan anggaran utang satu atau dua persen dengan tanpa evidence” tukas Didik.
Menurutnya, sekitar 80% devisa habis untuk bayar hutang investasi pabrik nikel di indonesia. Demikian juga, bunga utang menguras anggaran publik, dengan yield tinggi dan pengunaanya lebih banyak dinikmati oleh investor golongan atas.
“UU APBN diotoritasi oleh Ibu Sri Mulyani dan tidak memiliki legitimasi dalam membuat APBN yang baik. Check and balances tidak ada, dimana melupakan syarat dari dalam melakukan berbagai hal,” paparnya.
Ongkos Politik Mahal
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkapkan bahwa korupsi yang meluas karena ongkos politik mahal hingga pandemi Covid dijadikan sebagai alasan sasaran. “Pada masa pemerintahan Pak Jokowi sangat solid, sedangkan Pak Jokowi mewarisi kepada Pak Prabowo pemerintahan di masa yang sulit.”
Menurutnya, ada empat krisis yang akan di hadapi yaitu krisis fiskal, krisis industri, krisis lapangan kerja dan krisis rupiah. Hal ini merupakan hal yang paling krusial tetapi sering diabaikan.
Data dari Oxford University mencatat mengenai jumlah menteri di tiap negara. Efective governance ada kaitannya dengan jumlah menteri yang dimiliki tiap negara, makin banyaknya menteri makin tidak efektif pemerintahan tersebut. Indonesia menempati 10% terbanyak jumlah menteri dalam pemerintahan.
Dalam orde reformasi ada 15 tersangka korupsi, sebanyak 11 dari 15 tersangka merupakan menteri berlatar belakang partai politik. Wijayanto Samirin membaginya menjadi tiga analisis yakni, pertama, biaya politik mahal, kedua, penugasan dari partai untuk mencari dana, dan ketiga yakni karakter politisi lebih risk-taker.
Ia mengusulkan Menko untuk mengurusi urusan tertentu dan memiliki pekerjaan rutin yang memiliki tupoksi dibawahnya. “Usulan nomenklatur kabinet yang inti adalah urusan manusia; urusan kawasan dan infrastruktur; urusan ekonomi; serta urusan hukum dan politik” papar Wijayanto.
Butuh Sosok Profesional dan Integritas
Terkait posisi kabinet Prabowo mendatang, Wijayanto Samirin mengutarakan, kabinet diisi oleh sosok yang memiliki kredibilitas dan integritas. Hal ini, guna meminimalisir unsur nepotisme dalam pemilihan menteri, menggunakan pola semi matrix dengan menggantikan pendekatan sektoral yang menimbulkan silo dan koordinasi yang buruk, meminimal perubahan jumlah kementerian yang drastis idealnya 30-34 menteri dengan orientasi pada efektivitas dan efisiensi,
Demikian juga, unsur partai dan non-partai tidak terlalu berpengaruh tetapi perlu diantisipasi fakta bahwa sosok partai lebih rentan terlibat dalam korupsi, serta pembentukan badan penerimaan negara, perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati idealnya direalisasikan pada pertengahan masa jabatan.//