JAKARTA, Bisnistoday – Pada awal tahun 2023, Henny Syiariel, seorang wanita lansia berusia 70 tahun, mulai membangun rumah di atas tanah miliknya yang sah di Desa WKO, Halmahera Utara. Tanah tersebut sudah bersertifikat sejak 1998, namun tak lama setelah pemasangan spanduk bertuliskan “Tanah SHM milik Henny Syiariel,” ia dihadapkan dengan tuduhan penyerobotan lahan.
Tuduhan ini datang dari Robby Weeflaar, yang mengklaim bahwa tanah yang dikuasai Henny bukan miliknya. Laporan tersebut segera berujung pada ancaman hukum terhadap Henny, yang merasa heran karena tanah tersebut sudah tercatat dengan jelas atas namanya melalui Sertifikat Hak Milik (SHM) No.185.
Pada 12 Juni 2023, Robby melaporkan Henny ke Polres Halmahera Utara dengan tuduhan penyerobotan tanah. Proses penyelidikan segera dimulai, dan pada 1 Juli 2023, penyidik mengundang Henny untuk memberikan klarifikasi terkait tuduhan tersebut.
Namun, dalam proses penyelidikan, kuasa hukum Henny menemukan fakta mencengangkan. Surat tertanggal 3 Mei 2023 yang menjadi dasar tuduhan tersebut ternyata bukan ditandatangani oleh Henny, melainkan diduga merupakan hasil pemalsuan.
“Ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap Ibu Henny. Tanah yang dikuasai oleh beliau sudah sah berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN Halmahera Utara,” ujar Dr. Selfianus Laritmas, SH., MH., kuasa hukum Henny Syiariel dalam keterangannya, Rabu (5/2/2025).
Penelusuran lebih lanjut mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam surat tersebut. Salah satunya adalah adanya tanda tangan nama Lie Tin Siong sebagai saksi, padahal orang tersebut sudah meninggal pada 2007, yang semakin memperburuk dugaan rekayasa dalam kasus ini.
Selain itu, surat yang semestinya diterbitkan pada 4 Mei 2023, ternyata muncul satu hari sebelumnya, yakni pada 3 Mei 2023. Kejanggalan ini menunjukkan adanya kemungkinan manipulasi dokumen yang bertujuan untuk memperburuk posisi Henny dalam perkara ini.
Sebagai tambahan, surat dari Kepala Desa yang diterbitkan pada 3 Mei 2023 serta surat pemberitahuan dari BPN memperlihatkan adanya hubungan yang mencurigakan antara beberapa pihak yang terlibat dalam kasus ini. Dugaan kolusi antara oknum BPN dan Polres Halmahera Utara semakin memperburuk situasi.
Dalam waktu singkat, perkara ini beralih dari penyelidikan ke penyidikan, dan Henny dipanggil beberapa kali dalam waktu yang relatif singkat. Keadaan yang tergesa-gesa ini menimbulkan keraguan atas keadilan dalam penanganan kasus ini.
Pada 6 Januari 2025, Henny ditetapkan sebagai tersangka, meskipun banyak bukti yang belum diuji dan masih mencurigakan. Kuasa hukum Henny menilai bahwa proses hukum yang berlangsung begitu cepat menunjukkan adanya ketidakwajaran dan dugaan rekayasa dalam kasus ini.
Ibu Henny merasa terintimidasi dan takut akan keselamatannya. Pihak Robby Weeflaar juga meminta ganti rugi sebesar 500 juta dan permintaan maaf selama tujuh hari, yang semakin menambah beban psikologis bagi Henny. Kasus ini mengundang perhatian masyarakat, yang berharap agar mafia pertanahan segera diusut dan keadilan bagi Henny segera ditegakkan.