JAKARTA, Bisnistoday – Pemerintahan baru yang dikomandani Prabowo Subianto-Gibran, dipastikan akan menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Utang menggunung hingga mendekati Rp10 ribu triliun, dengan beban bunga tinggi akan berdampak terhadap program pemerintah. Terlebih mengenaskan, utang tersebut tidak terbukti mampu memicu secara produktif dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Prof. Didik J Rachbini, Ekonom Senior INDEF kembali mengingatkan utang pemerintah yang menggunung akan memicu jurang krisis ekonomi. “Sehingga saat ini hutang kita bisa mencapai hampir Rp10 ribu triliun. Dan dampaknya untuk bayar bunga saja sudah sedemikian besar setiap tahun,” cetus Didik J Rachbini dalam dialog ekonomi bertajuk “Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo” pada akhir pekan di Jakarta.
Ia mengutarakan, apabila ada pejabat pemerintah menyatakan rasio utang Pemerintah terhadap PDB belum 100% dinilai menyesatkan. Sebab, apabila dibandingkan dengan Jepang meskipun utang Jepang 100% tapi kalau bunganya 0,7-0,9%, maka pembayaran bunga-nya saja akan kecil. Jepang punya hutang Rp500 triliun tetapi hanya membayar Rp30 triliun per tahun. “Indonesia, dengan hutang Rp8.500 triliun sekarang maka kita harus bayar Rp500 triliun bunganya saja.”
Lebih tragisnya, bahwa kebijakan utang pemerintah yang berdampak terhadap multiplier effect ini diputuskan dengan tidak melibatkan publik secara transparan. Padahal dampak utang akan mempengaruhi kehidupan ekonomi nasional secara meluas.
“Satu kali keputusan mengambil utang sedemikian besar, maka harus membayar cicilan utang dan pokok yang pasti semakin besar, dampaknya anggaran pendidikan berkurang, anggaran untuk daerah berkurang.”
Didik menegaskan, pengambilan keputusan menjadi menyangkut domain publik, yang seharusnya menyertakan secara demokratis pihak-pihak yang terkait didalam utang tersebut seperti pembayar pajak, masyarakat, demokrasi, dan sebagainya.
“Tidak ada seorangpun di lembaga, DPR, Parlemen yang menjaga dengan ‘check and balance’ pengambilan keputusan-keputusan itu. Sehingga saat ini hutang kita bisa mencapai hampir Rp10 ribu triliun.”
Didik menegaskan, bahwa pemerintahan baru Pabowo, pasti akan mewarisi hutang besar. Sekarang dengan rezim suku bunga tinggi, Bank Indonesia sudah mengeluarkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan imbal hasil tinggi. “Itu menyebabkan BI lenggang kangkung saja atas korban dari sektor-sektor riil.”
Tidak Digunakan Secara Produktif
Sementara, Eisha M Rachbini pengamat ekonomi mengatakan, dari sisi neraca belanja, hal keseimbangan primer terlihat bahwa belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pembayaran utang. Terlebih tragisnya, utang yang menggunung ini, digunakan secara tidak produktif.
“Utang diambil memang tidak produktif. Karena dilihat komponen belanja modal, untuk membiayai belanja modal hanya sedikit. Digunakan bukan pada sektor produktif seperti akumulasi barang modal dan teknologi, dan lainnya. Komponen belanja hanya besar di belanja pegawai/barang. jadi hal hal itu tidak bisa mendorong produktivitas di jangka panjang.”
Sementara, M Tauhid Achmad, Direktur INDEF memperkirakan target pertumbuhan ekonomi untuk pemerintahan baru Prabowo-Gibran bakal sulit dicapai. Seperti target pertumbuhan ekonomi 6-7% atau bahkan 8% akan terasa berat. Apalagi Bappenas hanya optimis dengan proyeksi 5,6-6,1%.”Ini persis sama dengan awal pemerintah Jokowi, tetapi hanya realisasinya 5,1% saja.”
Menurut M Tauhid, target pertumbuhan 6%-7% memang ambisius tetapi secara fondasi riilnya amat berbeda. Pertama, perubahan transisi kebijakan. Saat era Jokowi, utang cukup besar dengan pembangunan infrastuktur besar-besaran di Jawa dan luar Jawa, ternyata tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai target.
“Dari beragamnya target, tinggal bagaimana cara mewujudkannya, tapi tidak yakin itu semua bisa didanai dengan sumber-sumber peneriman yang maksimal.” /