JAKARTA, Bisnistoday – Kasus penembakan yang melibatkan seorang oknum polisi di Semarang terhadap siswa SMK berinisial GRO menjadi sorotan publik. Insiden ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga memicu diskusi serius tentang profesionalisme dan etika dalam penegakan hukum.
Pakar hukum, Prof. Dr. Henry Indraguna, menyoroti insiden tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap prosedur operasional kepolisian. Menurutnya, tindakan Aipda RZ yang menembak korban di bagian pinggul menunjukkan ketidaksesuaian dengan protokol kepolisian yang mengharuskan tembakan peringatan terlebih dahulu.
“Meskipun ada dugaan korban terlibat dalam kelompok tertentu, tindakan penembakan itu tetap tidak dapat dibenarkan. Ini kesalahan oknum, bukan institusi kepolisian secara keseluruhan,” tegas Prof. Henry, dalam keterangannya, Minggu (8/12/2024).
Prof. Henry juga mengkritik sikap yang terlalu cepat membela tindakan oknum tanpa investigasi mendalam. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa informasi yang diterima pimpinan kepolisian, seperti Kapolrestabes Semarang, mungkin tidak akurat.
“Saya khawatir Kapolrestabes Semarang telah dibohongi oleh bawahannya. Jika pembelaan dilakukan, itu mungkin didasari informasi yang salah,” ujar Profesor Ilmu Hukum dari Unissula Semarang ini.
Menurut Prof. Henry, penting bagi institusi kepolisian untuk menjadikan kasus ini sebagai momen introspeksi. Ia merekomendasikan evaluasi menyeluruh terhadap distribusi senjata api kepada anggota polisi, termasuk tes psikologi ulang untuk memastikan kesiapan mental dan temperamental.
“Perlunya pengawasan ketat dalam distribusi senjata api. Tidak semua anggota polisi harus memegang senjata jika aspek psikologisnya belum memadai,” urainya.
Lebih lanjut Prof. Henry juga menyoroti perlunya transparansi dalam investigasi. “Jika terjadi kesalahan oleh anggota, pimpinan harus segera memberikan sanksi tegas. Transparansi dalam penegakan hukum adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa slogan ‘Presisi’ yang diusung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus benar-benar diterapkan secara nyata, bukan hanya sekadar retorika.
Kasus ini, menurut Prof. Henry, mencerminkan tantangan serius dalam membangun citra positif kepolisian. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini harus terus dijaga melalui komitmen terhadap penegakan hukum yang adil.
“Jangan sampai tindakan segelintir oknum merusak reputasi seluruh institusi. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegak lurus dan transparan,” tandasnya.