JAKARTA, Bisnistoday- Krisis global mulai terlihat nyata, yang ditandai dengan perang tarif perdagangan antara Amerika Serikat dengan negara mitranya khususnya terhadap China. Kondisi perekonomian Indonesia diprediksikan lebih mampu bertahan dibanding kondisi beberapa negara ASEAN lainnya. Situasi krisis ekonomi global, dipandang sebagai momentum untuk mereformasi perekonomian Indonesia.
“Seperti yang diungkapkan Bapak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), bahwa krisis digunakan untuk mereform kebijakan. Dan sudah ada berita baik, bahwa pemerintah telah melakukan deregulasi,” ungkap Chatib Basri, Menkeu RI ke 28, era Presiden SBY, saat diskusi yang digelar The Yudhoyono Institute Panel Discussion dengan tema “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global” pada Minggu (13/4).
Chatib menceritakan, kebijakan tarif oleh Donald Trump memberikan implikasi terhadap naiknya barang-barang yang masuk ke AS. Inipun juga akan membawa dampak terhadap kenaikan inflasi yang diperkirakan sekitar 4% berdasarkan asumsi pelaku ekonomi setempat.
“Sedangkan pengenaan tarif reciprocal terhadap China 104% itu, tentu memiliki konsekuensi terhadap barang-barang dari China stop masuk ke AS, mungkin sekitar tiga bulan sudah tak ada lagi. Karena keuntungan mereka lebih kecil dibanding besaran fee tarif-nya.”
Selanjutnya, menurut Chatib, apakah dengan kelangkaan barang mendorong inflasi meningkat disertai dengan kenaikan Fed Fund Rate? Kemungkinan kenaikan bunga The Fed ini tidak yakin mengikutinya. Namun yang terjadi nilai tukar USD akan menguat dibanding mata uang negara mitra.
“Sebenarnya, tarif AS ini untuk membawa negara mitra melakukan negosiasi dan AS berhasil kecuali dengan China. Sebenarnya kalau rataliasi tarif sangat tidak dianjurkan, karena buat ekonomi slowdown, pertumbuhan global turun, ekspor turun, GDP turun, menuju jurang resesi global.”
Indonesia Relatif Baik
Chatib Basri mengutarakan, bagaimana dampaknya perang tarif AS -China dengan Indonesia? bahwa sekarang ini, share ekspor terhadap PDB Indonesia relatif tidak besar atau sekitar 22%. Berbeda dengan Singapore, Vietnam bahkan eksport ke AS hanya sekitar 10% dari total ekspor. Apabila dengan dampak ekspor 22% dari PDB maka kalaupun berpengaruh terhadap pertumbuhan sekitar 4,3-4,5% ekonomi nasional.
Kendati begitu, Chatib mengingatkan bahwa dampak eksport ke AS yang bakal seret ini akan dirasakan terhadap industri manufaktur, seperti alas kaki, electrical machinery, maupun pasar udang.”Ini beberapa sektor yang harus menjadi perhatian.”
Begitupun dari pasar keuangan, Chatib mengatakan, tidak terlalu besar karena government bond untuk foreigner porsinya sudah menurun atau sekitar 14% saja, berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya.
Pelaku Usaha Butuh Kepastian
Chatib mengatakan, tarif Trump sebesar 32% untuk barang Indonesia diartikan bahwa barang tersebut dijual dengan harga 132% di AS, dan dengan penguatan dollar AS misalnya 5%, maka harga barang meningkat 127% saja. “Sebenarnya pebisnis itu tidak minta bantuan, tetapi yang dibutuhkan kepastian seperti aturan yang konsisten. Pebisnis bisa masalah menjadi uang.”
Chatib menyarankan kepada pemerintah untuk segera melakukan reformasi ekonomi biaya tinggi harus dipotong. Dukungan cost production ini sangat diperlukan agar produk bisa bersaing.”Deregulais seperti TKDN, kuota dan lainnya sudah dilakukan, dan pemerintah harus prioritaskan pengeluaran sektor padat karya, seperti pariwisata.”
Selain itu, tambah Chatib, program perlindungan sosial seperti BLT, PKH, MBG juga harus digencarkan agar daya beli bertahan. Sektor formal juga harus mendapatkan perhatian serius selain sektor informal yang selama ini yang diurusi.”Perundingan dagang dengan mitra, seperti EU CEPA, maupun kerja sama konsolidasi ASEAN sangat penting,” tambahnya. //