JAKARTA, Bisnistoday – Langit pagi kala itu tak pernah sedingin ini, bagi Dr. Umar Bakti, lelaki kurus yang kerap disebut-sebut sebagai dosen yang berwibawa oleh mahasiswa-mahasiswinya. Tampilannya teramat sederhana: kemeja biru, celana coklat muda, sepatu sandal, kemanapun dan dimanapun berada. Rumahnya di Tengah kota, kemana-mana cukup naik ojek atau kereta saja setiap ada agenda.
Pagi itu Umar berdiri di depan tugu Universitas Nusantara, kampus yang telah menjadi rumahnya hampir setengah abad lamanya. Di tangannya, tergenggam surat yang kaku, dari rezim yang sedang menindih otak dan nurani para intelektual. Rezim yang menganggap kebebasan berpikir adalah ancaman dan berbeda pendapat sebagai sebuah pengkhiatan.
Umar bukan orang sembarang orang. Ia lulusan universitas tersebut, salah satu perguruan tinggi ternama di negerinya, mungkin terbaik di Konoha. Dia lalu melanjutkan studinya di Tanah Raja Charles, di benua seberang, enam jam bedanya dengan Jakarta. Cambridge nama kotanya. Dikelilingi buku-buku tebal, diselimuti perbedaan pemikiran, dan berbagai perdebatan intelektual.
Suatu kali, di masa mudanya, Umar dihadapkan pada momen yang menguji tulang punggungnya sebagai manusia. Waktu itu, ia masih menjadi mahasiswa pascasarjana di sana. Segelintir Pejabat Pemerintah, bermuka dua, mengadakan kunjungan resmi ke Tanah Raja, dan para mahasiswa Indonesia diundang dalam sebuah jamuan besar.
Umar, yang telah dipercaya memimpin para mahasiswa se-Britania Raya, juga diminta hadir memeriahkannya. Teman-temannya, senior-seniornya, semua berlomba mengenakan batik terbaik. Mereka siap berjabat tangan, tersenyum lebar di depan kamera, seolah-olah negara kita ini baik-baik saja.
Rayuan Untuk Umar
Tapi Umar, dalam hatinya, tahu siapa sebenarnya mereka. Di balik kata-kata manis mereka, terdapat tangan-tangan kotor dan berlumuran darah, melanggar hukum semau mereka dan keluarga. Umar tidak bisa menerima itu. Ketika beberapa teman mendesaknya untuk ikut, membujuknya dengan kata-kata lembut, “Ayolah, Umar. Setidaknya kau datang, bersalaman saja, lalu kita pulang,” Umar menatap mereka dengan pandangan yang dalam, penuh hormat tapi juga tegas. “Tulang belakangku terlalu keras untuk itu,” jawabnya, suaranya pelan tapi tajam.
Keputusan Umar memancing kemarahan para pejabat. Ancaman datang seperti hujan bulan Januari. Namanya sontak dibicarakan dengan nada sinis di lingkaran kekuasaan. Selenting kabar terdengar kabar sampai beasiswanya dicabut. Tapi Umar tetap tegak, seperti pohon besar yang akarnya tertanam dalam di tanah. Ia menerima segala konsekuensi dengan hati lapang, bismillah, ia tahu ini adalah jalan yang harus ia tempuh.
Murid-muridnya mencintainya. Tak terhitung orang mengidolakannya. Bukan hanya karena ia pandai menjelaskan teori-teori ekonomi yang rumit di papan kelas, tapi utamanya karena ia selalu lantang berteriak tentang keadilan dan kesejahteraan rakyat. “Ekonomi,” ucapnya suatu kali di depan kelas yang penuh sesak, “bukan ilmu yang sulit. Kalian yang duduk di sini harus terus berpikir bagaimana Anda, saya, kita semua bisa mengangkat derajat rakyat di bawah dan melindunginya.
Bukan dengan belas kasihan, tapi dengan perbaikan kebijakan.” Setiap kali Umar berbicara, seolah badai petir menghantam dinding-dinding kekuasaan, membuat mereka yang di kursi-kursi empuk Istana terganggu kenyamanannya.
Dan memang, di luar sana, di balik tembok-tembok Istana, pekikan Umar mulai membangunkan para penguasa dari tidur nyenyaknya. Para pejabat yang merasa diri paling berjasa, paling tahu cara membangun negeri, mulai melihat Umar sebagai ancaman. Mereka, yang sudah terbiasa dengan puja-puji, tidak siap menerima kritik tajam, apalagi dari seseorang yang tak gentar menyebut konflik kepentingan mereka, bahkan menunjuk batang hidungnya.
Suatu hari, Umar dipanggil oleh seorang utusan Istana. Seorang lelaki berbadan tegap, dengan wajah kaku tanpa senyum, memasuki ruangan. “Anda bisa apa? Hanya bisa mengkritik! Kontribusi Anda apa? Hanya bicara di mimbar dan menulis di kertas,” bentaknya dengan suara yang meninggi, penuh nada meremehkan. “Sementara kami,” lanjutnya, “kami yang konkret membangun negeri ini. Jembatan, jalan raya, pelabuhan—semua itu hasil kerja nyata kami. Apa yang Anda lakukan?”
Umar tak bergeming, sembari menatap dengan mata menusuk. “Pembangunan tanpa keadilan, apalah guna” jawabnya tenang, “Apa lah arti jalan raya kalau petani kehilangan tanahnya? Apa lah guna pelabuhan jika membuat nelayan tenggelam dalam kemiskinan semakin dalam?”
Di sudut ruangan, petinggi universitas dan fakultas yang ikut hadir dalam pertemuan itu menghela napas panjang. Mereka tahu betul, tak ada kata-kata yang bisa mengubah Umar, pun senjata dikeningnya. Umar pantang mundur selangkah, lengkap data-datanya, dalam analisisnya, kuat
Ketika pemerintah mengumumkan kebijakan yang membuka lebar-lebar izin tambang bagi para oligarki perusak negeri, merobek-robek perut bumi negeri ini, Umar tidak bisa tinggal diam. Tanah yang dulu subur, menjadi ladang rezeki bagi rakyat kecil, kini digadaikan untuk kepentingan segelintir orang yang duduk di atas tahta kekuasaan.
Masyarakat adat di pedalaman hanya bisa menggigit jari sementara hutan-hutan mereka dihancurkan, sungai-sungai keruh oleh lumpur dan limbah. Mereka ditinggalkan, seolah-olah mereka tak lebih dari kerikil kecil yang bisa disingkirkan demi keuntungan besar.
Umar murka. Kemarahannya diluapkan dengan kata-kata tajam, artikel demi artikel ditulisnya, dimuat di koran-koran besar, suaranya menggema di ruang-ruang seminar, pemikirannya menular cepat. Tanpa ragu, ia menuntut pertanggungjawaban pemerintah yang sudah buta oleh kilauan tambang. Kritiknya seperti palu yang memukul kesadaran, menggugah mereka yang masih bisa mendengar bisikan kebenaran.
Umar Terus Melawan
Di istana, para pejabat membicarakan Umar dengan cemoohan, merasa terganggu oleh api perlawanan yang terus membesar. Tak lama kemudian, Umar mendapat kabar buruk. Bukan dari pemerintah, tapi dari kampus tercintanya. Surat pemecatan itu datang tanpa tanda-tanda sebelumnya. Isinya pendek dan jelas. Umar harus pergi, dipurnatugaskan tanpa alasan yang jelas. Para birokrat kampus tunduk pada tekanan dari atas. Mereka lebih suka menjaga kenyamanan, kursi, dan karirnya, daripada membela kebenaran, teman, dan seniornya.
Namun, Umar, seperti halnya pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang ia baca dalam buku-buku sejarah, salah satunya adalah opungnya, tidak pernah gentar. Baginya, ini bukan akhir. Ini justru awal dari perjuangan yang lebih besar. “Kita akan terus lawan, kita akan terus sampaikan kebenaran, tembok ini menjadi saksi,” ujarnya kepada beberapa mahasiswa yang mendatanginya setelah berita itu tersebar. Layar terkembang, pantang perahu kembali pulang.
Langkah Umar semakin ringan. Ia terus bergerak di luar kampus. Ia menulis lebih banyak, lebih keras. Media sosial menjadi pasukannya, pemikiran dan tulisan menjadi senjatanya. Artikel-artikel yang ia tulis semakin menyayat, suara-suara yang disampaikan semakin lantang, musuh-musuhnya semakin tidak nyaman.
Umar tidak berhenti di sana. Ia mendirikan pusat kajian ekonomi yang ia namai Pusat Kajian Ekonomi Politik (PKEP). Di sana, ia melibatkan dan mengkader para ekonom muda, mengajak mereka untuk belajar dan menganalisis kebijakan dengan jujur apa adanya, lalu menyuarakannya tanpa takut dan sekeras-kerasnya. “Kita tidak melawan negara, bukan itu musuh kita,” ucapnya di taman kantor PKEP, “yang kita lawan adalah kezaliman penguasa yang merajalela dan semena-mena di dalamnya. Para Firaun muda
Badannya semakin kurus, namun namanya semakin besar dan harum. Para petani, buruh, nelayan—semua merasa bahwa suara Umar adalah nasib mereka. Para intelektual dan orang-orang baik berjejer di belakangnya, ada yang dengan bangga menampakkannya, ada pula yang menyembunyikan wajahnya karena struktur kuasa.
Di tengah tekanan dan ancaman, Umar terus berdiri tegap, konsistensinya luar biasa. Beberapa kawan perjuangan mulai menarik diri, khawatir terkena dampak, tidak siap menerima konsekuensinya. Umar memahami sepenuhnya. Ini jalan ninja, tak ada yang tahu di mana ujungnya.
Semakin hari, semakin jelas bahwa Umar bukan lagi sekadar seorang ekonom. Ia adalah suara kebenaran, simbol perlawanan. Bukan perlawanan dengan kekerasan, tapi perlawanan dengan pikiran dan tulisan. Dan bagi mereka yang duduk di kursi-kursi kekuasaan, tak ada yang lebih berbahaya daripada ksatria berpena dengan pikiran merdeka.
Musuh-musuhnya mencoba meneror, membungkamnya, bahkan membunuhnya. Berbagai tuduhan dilontarkan. Ada yang bilang ia agen asing, kaki tangan Barat. Ada pula yang menuduhnya ingin menggulingkan pemerintah. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Umar tidak pernah peduli. Baginya, kebenaran adalah tujuan satu-satunya. Negara ini harus dikelola dengan benar, adil, dan berpihak pada kaum papa, bukan hanya untuk segelintir orang kaya dan penguasa yang duduk di pucuk kuasa.
Di balik semua ancaman, Umar tetap berjalan dengan kepala tegak. Ditopang dengan tulang belakangnya yang memang keras. Ia tahu, perjuangan ini panjang, berliku. Ia tahu ini tidak mudah. Tapi ia percaya: keadilan harus selalu diperjuangkan, kesejahteraan harus segera diwujudkan, kebenaran harus terus disuarakan. Sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, selama-lamanya. (In memoriam Faisal Basri, Pendiri & Ekonom Senior INDEF).
Durham, UK, 6 September 2024
Oleh: Dzulfian Syafrian, Ekonom INDEF