www.bisnistoday.co.id
Minggu , 16 Maret 2025
Home NASIONAL & POLITIK Humaniora Praktisi Media Meminta Pemerintah Jangan Anti Kritik
Humaniora

Praktisi Media Meminta Pemerintah Jangan Anti Kritik

Dialog Prublik
Diskusi Publik di Jakarta./
Social Media

JAKARTA, Bisnistoday – Praktisi media meminta pemerintah jangan terlihat anti kritik terhadap media maupun suara publik. Pemerintah seharusnya menerapkan pola komunikasi yang seimbang dan bisa membangun pemahaman bersama dengan publik secara konstruktif serta saling menguntungkan.

“Kritik media tidak seharusnya dilihat dalam kerangka polarisasi biner, jika tidak mendukung, berarti menentang. Justru, kritik yang konstruktif menjadi bagian dari demokrasi yang sehat dan membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ungkap Jurnalis Senior, Budiman Tanuredjo.

Budiman mengutarakan saat diskusi publik bertajuk “Kepercayaan Publik yang Hilang: Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo” secara offline di Universitas Paramadina Kuningan, Trinity Tower Lt.45 pada Selasa (11/3).

Budiman Tanuredjo menyoroti pentingnya komunikasi yang berbasis pada mutual respect antara pemerintah dan media. Ia mengingatkan bahwa komunikasi yang baik bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang membangun pemahaman yang mendalam antara pemerintah dan masyarakat.

“Di era SBY, komunikasi lebih tertata dan menghargai hubungan antara pemerintah dan media. Ketika ada kritik keras dari media, pemerintah merespons dengan membuka ruang diskusi. Ini yang tidak terlihat di pemerintahan saat ini,” kata Budiman.

Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang menggunakan hak jawab di media massa resmi. Salah satu contohnya adalah saat peristiwa tsunami Aceh, di mana hak jawab SBY dimuat oleh SKH Kompas dengan porsi yang sama sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip jurnalistik yang adil dan berimbang.

Selain itu, Budiman mencontohkan, dalam kasus “Cicak vs Buaya,” meskipun editorial Kompas mengambil posisi kritis terhadap pemerintah, komunikasi tetap terbuka sehingga tercipta pemahaman yang lebih baik di antara kedua pihak.

Komunikasi Lewat Medsos

Uni Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, menambahkan bahwa pola komunikasi pemerintahan semakin bertransformasi di era digital. Ia menggarisbawahi bahwa pada era Jokowi, komunikasi lebih banyak bergantung pada media sosial dibandingkan pertemuan langsung dengan jurnalis.

“Di era Jokowi, pertemuan dengan pemimpin redaksi hanya dilakukan dua kali setahun dengan durasi singkat, sehingga kesempatan untuk klarifikasi terbatas. Akibatnya, media lebih sering mendapatkan informasi dari YouTube Presiden ketimbang forum diskusi yang lebih interaktif,” jelas Uni.

Ia membandingkan pola komunikasi ini dengan era SBY, dimana pemerintah lebih terbuka terhadap media. “Pak SBY bahkan mengakomodir hingga 65 pemimpin redaksi dalam diskusi yang berlangsung selama beberapa jam, memungkinkan media untuk mendapatkan informasi latar belakang yang lebih mendalam,” tambahnya.

Gaya Komunikasi Era Presiden SBY

Andi Mallarangeng menjelaskan bahwa sejak era Bung Karno hingga Jokowi, pola komunikasi pemerintahan terus mengalami perubahan. “Di era Bung Karno, ada juru bicara ideologi, sedangkan di era Suharto, komunikasi dijalankan oleh para menterinya tanpa adanya juru bicara khusus. Gus Dur sempat memiliki empat juru bicara yang bekerja dalam sistem shift, namun ini menimbulkan inkonsistensi informasi,” paparnya.

Sejarah Jubir Presiden di Indonesia dimulai sejak era Presiden Soekarno. Saat itu, Usman, yang dikenal sebagai ‘Jubir Usdek Manipol’ bertanggung jawab langsung kepada presiden dengan tugas utama menjelaskan aspek ideologi pemerintahan. Di era Presiden Soeharto, posisi resmi Jubir tidak ada karena komunikasi pemerintah dilakukan melalui para menteri, dengan pengecualian Moerdiono yang berperan sebagai Seskab. Presiden Habibie juga tidak memiliki Jubir, karena ia lebih memilih menyampaikan pesan langsung kepada publik.

Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memiliki empat Jubir yang bekerja dalam sistem shift. Namun, sistem ini menghadapi kendala dalam kesinambungan informasi, menyebabkan kebingungan di kalangan media. Era Presiden Megawati Soekarnoputri juga tidak memiliki Jubir resmi. Sebagai gantinya, banyak anggota partai politik yang berperan dalam menyampaikan kebijakan pemerintah.

Baru pada masa pemerintahan Presiden SBY, sistem Jubir kembali diterapkan dengan struktur yang lebih terorganisir. Saat itu, terdapat dua Jubir, yaitu Dino Pati Djalal untuk urusan luar negeri dan Andi Mallarangeng untuk urusan dalam negeri. Jubir bertugas setiap hari tanpa sistem shift untuk memastikan kesinambungan informasi.

Menurut Andi, pola komunikasi terbaik terjadi di era SBY. Dengan sistem yang tertata, para juru bicara memiliki peran strategis dalam menjelaskan kebijakan pemerintah kepada publik. Ia menyoroti bahwa dalam era Jokowi, juru bicara pemerintahan tidak berfungsi optimal, dan komunikasi lebih banyak dilakukan oleh buzzer yang sering kali bersifat menyerang lawan politik./

Arsip

BISNISTODAY – INSPIRE YOUR BUSINESS

PERTAMINA IS THE ENERGY

TAWWAFI TOUR LUNCURKAN PAKET UMROH

SOROTAN BISNISTODAY

Beritasatu Network

Related Articles

Gerakan DALA
Humaniora

Tingkatkan Angka Melek Al-Quran, Dana Abadi Literasi Al-Quran Resmi Diluncurkan

JAKARTA, Bisnistoday – Data kemampuan baca Al-quran, di Indonesia relatif sangat rendah...

Humaniora

PTPN Group Salurkan Bantuan Langsung Kepada Masyarakat Terdampak Banjir

JAKARTA, Bisnistoday – Curah hujan tinggi yang mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya...

Humaniora

Program Akses Digital Kedubes Inggris Jakarta Dorong Literasi Digital dan Keuangan Berkelanjutan

JAKARTA, Bisnistoday – Kedutaan Besar Inggris di Jakarta bekerjasama dengan mitra lokalnya...

Humaniora

Kisahnya Viral, Fotografer Nenek Tarmiyati Dapat Hadiah Kejutan Kamera

JAKARTA, Bisnistoday - Fotografi itu nggak memandang usia. Mau anak kecil, anak...