JAKARTA, Bisnistoday – Beberapa bulan terakhir polusi udara makin pekat di Kota Jakarta. Bahkan Kota Jakarta dilabeli sebagai kota terpolusi di dunia. Dampaknya, di Jakarta penyakit ISPA mengalami kenaikan drastis. Bahkan waktu itu Presiden Joko Widodo sempat mengalami batuk pilek selama dua minggu, dan diduga karena dampak buruknya kualitas udara (polusi) di Kota Jakarta.
Menurut Tulus Abadi, Pengurus Harian, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam keteranganya di Jakarta menyatakan, fenomena polusi di Jakarta tak bisa dilepaskan oleh adanya dampak hilir (transportasi), dan pemicu lainnya yakni sektor energi (di sisi hulu).
Tulus menegaskan, pencemaran udara di Kota Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan dan membahayakan dari sisi kesehatan dan bisa berdampak secara ekonomi. Bahkan menurut Dinkes DKI Jakarta faktor lingkungan dan kualitas udara berpengaruh paling signifikan terhadap berbagai penyakit tidak menular, seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes, dan lainnya.
Menurutnya, pengendalian Pencemaran udara juga menjadi fenomena yang sejalan dengan upaya pemerintah mewujudkan kebijakan nett zero emition hingga 2060. Hal ini tidak akan tercapai jika tidak ada kebijakan yang gradual dan sistematis dilakukan, karena pencemaran udara (polusi) adalah wujud paling nyata adanya produksi emisi gas buang dari energi fosil, yang digunakan untuk aktivitas di sektor hilir, seperti transportasi, bisnis, industri, dan lainnya.
“Hal yang paling kentara adalah bahwa sektor transportasi berkontribusi paling signifikan (45%), karena penggunaan kendaraan pribadi masih sangat dominan, baik roda dua, roda empat dan kendaraan logistik. Saat ini ranmor roda dua di Jakarta mencapai 24 juta lebih,” dalam keteranganya Tulus.
Bahan Bakar Fosil untuk PLTU
Hal yang tak boleh dilupakan, tambah Tulus, adalah adanya PLTU yang mengepung Kota Jakarta, yakni PLTU di area Prov. Banten, Prov. Jabar, dan PLTU di Jakarta. Diduga kuat banyak PLTU Swasta yang digunakan utk sektor industri dan bisnis yang belum tersertifikasi proper (ramah lingkungan) dari KLHK.
Dari sisi YLKI, Tulus berpandangan untuk segera melakukan langkah pencegahan dan taktis di lapangan. Untuk mewujudkan udara yang bersih di Kota Jakarta dan kota kota besar lain di Indonesia perlu ada langkah radikal yang dilakukan.
Pertama, yakni memerkuat peran angkutan publik masal di Kota Jakarta, yang terintegrasi, baik dari sisi infrastrukturnya, dan sistem ticketingnya. Keandalan pelayanannya juga menjadi prasyarat untuk mendorong migrasi pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna kendaraan umum masal, seperti Transjakarta, Commuter Line, MRT Jakarta, dan juga LRT Jabedebek dan LRT Jakarta.
“Memberikan disinsentif untuk pengendalian penggunaan kendaraan pribadi, seperti menerapkan kebijakan jalan berbayar, tarif parkir yang mahal, bahkan tarif tol dalam kota yang lebih tinggi. Mendorong penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan untuk ranmor pribadi, dengan oktan number yang tinggi sesuai standar Euro 2. Baik untuk roda dua dan roda empat,” dalam keterangan Tulus.
Kendaraan dan BBM Ramah Lingkungan
Selain itu, menurutnya, penggunaan kendaraan listrik, baik utk pribadi dan angkutan umum, juga perlu didorong. Sebab kendaraan listrik mampu menekan emisi gas buang di sisi hilir. Bus bus Transjakarta perlu dimigrasikan menjadi bus listrik.
“Mewujudkan wajib lulus uji emisi bagi ranmor pribadi di Jakarta. Kebijakan ini harus dilakukan secara konsisten dan meluas. Sebab menurut Dinas LH DKI, cakupan uji emisi masih minim, untuk ranmor pribadi hanya mencapai 29,7 persen dari total ranmor, dan bahkan untuk ranmor roda dua yang lulus uji emisi hanya 0,79 persen saja. Ironis sekali. Ranmor yang tidak lulus uji emisi bisa dikenakan tilang, dan tarif parkir progresif.”
Tulus mengutarakan, untuk Kota Jakarta seharusnya sudah berani menerapkan jenis BBM yang ramah lingkungan utk ranmor pribadi, sehingga emisi gas buang di Jakarta bisa turun signifikan. Era Gubernur Ahok, hal ini pernah di wacanakan. Ini bisa dilakukan dengan menghapus pertalite di Jakarta, dan wajib menggunakan BBM dengan RON 92, seperti pertamaks.
“Wacana PT Pertamina untuk membuat jenis BBM seperti Pertamaks green pada 2024, dengan RON 95, adalah hal yang baik dan patut didorong dan diapresiasi. Untuk mendukung dan percepatan jenis Pertamaks Green, pemerintah bisa mengkonversi subsidi BBM untuk pertalite, dialihkan untuk subsidi pertamaks dan pertamaks green tsb. Sebab bagaimana pun pertalite masih kategori Euro 1, yang masih tinggi emisi, dan memicu polusi signifikan.”
Audit PLTU Jawa Barat dan Banten
YLKI, tegas Tulus Abadi, mendesak KLHK untuk melakukan audit ulang thd keberadaan PLTU di Jakarta, Banten, dan Jabar. Sebab PLTU milik swasta yang digunakan utk kepentingan industri dan bisnis belum lulus standar proper dari KLHK. PLTU minimal harus mempunyai sertifikat standar proper dari KLHK untuk meminimalisasi emisi karbon yang dihasilkan.
Dari sisi sosilogis, harus ada upaya edukasi dan sosialisasi pada masyarakat khususnya generasi muda. Sebab menurut survei YLKI, pemahaman dan literasi masyarakat thd dampak BBM bagi lingkungan masih rendah. Bahkan dampak thd mesin kendaraannya sekalipun. Padahal jika kendaraannya menggunakan jenis BBM yang tidak kompatibel dengan mesinnya, maka mesin kendaraannya akan keropos, aus dan cepat turun mesin. Konsumen pada akhirnya scr finansial akan boros, dan bahkan boncos.
“Klimaksnya perlu ditandaskan bahwa masalah polusi udara tidak bisa dianggap sepele, ini masalah yang sangat serius bagi lingkungan, kesehatan dan masyarakat. Menurut hasil kajiankerugian sosial ekonomi signifikan, minimal mencapai Rp 28,5 triliun per tahunnya. Dan upaya pemerintah untuk mewujudkan nett zero emition tidak akan tercapai jika upaya menekan polusi udara tdk dilakukan, baik dari sisi hulu hingga hilir.”
Hal tersebut merupakan rangkungan dari kegiatan dialog publik secara daring dengan tajuk: Sinergitas Sektor Transportasi dan Energi dalam Pengendalian Pencemaran Udara di Kota Jakarta, baru-baru ini. Dialog publik menghadirkan nara sumber antara lain: Dirjen Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, General Manager PLTU Suralaya Indonesia Power, Ketua KPPB, dan Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi./