www.bisnistoday.co.id
Sabtu , 18 Januari 2025
Home OPINI Gagasan Pengerukan Pasir Laut Hanya Merusak Ekosistem
Gagasan

Pengerukan Pasir Laut Hanya Merusak Ekosistem

Gedung KKP
GEDUNG KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan di Jakarta./
Social Media

JAKARTA, Bisnistoday – Pada tanggal 13 Maret 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kepmen KP 16/2024 merupakan aturan turunan dan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Materiil yang terkandung di dalam peraturan pelaksanaan ini merupakan penetapan 7 (tujuh) lokasi perencanaan pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

Merespon hal tersebut, KIARA menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan penuh dengan permasalahan, terutama dalam konteks transparansi serta kajian ilmiah dalam penetapan lokasi, luasannya serta volumenya dalam lokasi tersebut.

Tidak ada cara lain selain mencabut PP No. 26 Tahun 2023 sebagai akar permasalahan eksploitasi dan pengerukan pasir laut yang dibungkus dengan diksi pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

KIARA melihat bahwa peraturan pelaksanaan tersebut semakin melegitimasi bahwa penentuan lokasi, luasannya serta volume pasir yang akan dikeruk tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam mengelola wilayah pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil.

Seharusnya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menjadi prinsip yang utama karena akan mencegah terjadinya kerusakan ekologi di wilayah perairan laut yang akan berdampak kepada keberlanjutan ekologi serta kondisi sosial nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.

KIARA mencatat bahwa di dalam Kepmen KP 16/2024 mengalokasi potensi pengerukan sumber daya kelautan berupa pasir laut di 7 wilayah perairan dengan total volume pasir laut yang akan dikeruk sebesar 7.406.760.206,43 m³. Secara lebih rinci, alokasi volume untuk pengerukan pasir laut yang dilegitimasi dalam Kepmen KP 16/2024 dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

      Lokasi                                                                 Volume Pengerukan (m³)

  • Perairan Laut Kab. Demak :                       1.723.153.882,35
  • Perairan Laut Kota Surabaya :                     399.767.835,75
  • Perairan Laut Kab. Cirebon :                        621.764.184,18
  • Perairan Laut Kab. Indramayu :               1.101.733.078,62
  • Perairan Laut Kab. Karawang :                   580.375.585,95
  • Perairan Laut Kab. Kutai
  • Kartanegara & Kota Balikpapan:              2.979.965.639,58
  • Perairan Laut Natuna-Natuna Utara :     9.090.961.336.11

     TOTAL :                                                              16.497.721.542,54

Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2024 (diolah)

Dengan volume pengerukan sebanyak ±7,4 miliar m³ memperlihatkan bahwa orientasi KKP saat ini semakin jauh dari slogan “ekologi sebagai panglima” dan aktivitas pengerukan tersebut berpotensi untuk menghancurkan kehidupan sosial, ekologis, ekonomi serta akan menghapuskan kebudayaan bahari masyarakat yang hidup di tujuh (7) wilayah pesisir tersebut.

Buruknya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan serta kebijakan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dan perlindungan nelayan serta hanya mengutamakan peningkatan PNBP menjadi legacy yang akan diwariskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan disisa 7 bulan masa kepemimpinannya.

Berikut adalah catatan dan kritik KIARA terkait dengan Kepmen KP 16/2024:Pertama, lahirnya PP 26/2023 yang dilanjutkan dengan digagasnya peraturan pelaksanaan yaitu Permen KP 33/2023 serta Kepmen KP 16/2024 bertentangan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana yang diubah menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).

KKP secara tegas telah menyebutkan bahwa  pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Bahkan UU PWP3K secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang secara langsung dan tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir.

Kedua, PP 26/2034, Permen KP 33/2023 serta Kepmen KP 16/2024 tidak mempertimbangkan wilayah-wilayah pesisir, perairan laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang merupakan wilayah yang termasuk dalam kategori rentan dan sangat rentan serta merupakan daerah rawan bencana karena dilintasi oleh lempeng/sesar aktif, sehingga pengerukan pasir laut akan semakin meningkatkan bahaya dan kerentanan yang akan dialami oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya nelayan kecil/tradisional.

Ketiga, tidak adanya transparansi, penelitian scientific, dan kajian ilmiah dalam penentuan pemilihan 7 lokasi pengerukan pasir laut tersebut beserta potensi dan dampak yang akan terjadi jika pengerukan tersebut dilakukan, sebagaimana yang terkandung dalam prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

Serta, keempat, tidak adanya transparansi tentang kajian ilmiah tentang jumlah kebutuhan pasir laut, peruntukan hasil pengerukan pasir laut, serta perusahaan-perusahaan yang telah mendapat konsesi serta history perusahaan tersebut.

Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil telah memiliki sejarah panjang tentang daya rusak yang dihasilkan dari pertambangan pasir laut diberbagai wilayah di Indonesia, beberapa diantaranya adalah pertambangan pasir laut di Blok Spermonde, Sulawesi Selatan; pertambangan pasir laut di perairan Pulau Tunda bahkan pertambangan pasir di perairan Lampung.

Dampak pertambangan atau pengerukan pasir laut yang telah dirasakan oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai yang selalu dikorbankan adalah menurunnya perekonomian mereka karena rusaknya ekosistem lingkungan laut, penurunan kualitas air laut yang akan berpengaruh terhadap kelangkaan sumber daya perikanan sebagai pangan lokal, abrasi pesisir, gelombang laut yang semakin tinggi, hingga berpotensi untuk menenggelamkan pulau-pulau kecil.

Tidak ada cara lain selain mencabut PP No. 26 Tahun 2023 sebagai akar permasalahan eksploitasi dan pengerukan pasir laut yang dibungkus dengan diksi pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

Jakarta, Maret 2024

Oleh : Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati

Arsip

BISNISTODAY – INSPIRE YOUR BUSINESS

PERTAMINA IS THE ENERGY

TAWWAFI TOUR LUNCURKAN PAKET UMROH

SOROTAN BISNISTODAY

Beritasatu Network

Related Articles

Gagasan

Perlu Perubahan Paradigma dan Sistem untuk Bangun Koperasi dan UMKM

Oleh Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) SUDAH berpuluh tahun program...

Gagasan

Pengambilalihan Korporasi Bangkrut oleh Buruh

Oleh Suroto, CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation) SEMENJAK krisis ekonomi...

Gagasan

Sawit Ditentang, Sawit Disayang

Oleh Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) DI wilayah diskursus alias...

Gagasan

Suksesi Shin Tae Yong: Bagai Hujan Jatuh ke Pasir

Oleh Sabpri Piliang, Wartawan Senior HORMATI keputusan PSSI! Sambil mengatakan. "Bagai hujan...