JAKARTA – Kata “Mafia impor” ramai diperbincangkan setelah Menteri BUMN menyebutkan ada praktek kotor dalam impor alat kesehatan (alkes). Menurutnya, Jumlah impor alkes mencapai 90% dari kebutuhan nasional.
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Amin Ak dalam keteranganya di Jakarta, Selasa (28/4) mengatakan, hanya 10% saja bahan baku Alkes dan farmasi yang dipenuhi industri dalam negeri. Nilai impornya juga sangat fantastis, sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp.15 Triliun (Data BPS, 2019).
“Alat elektronik untuk medis di peringkat pertama dengan nilai US$ 358,8 juta. Lalu perangkat elektronik medik dan radiologi sebesar US$ 268 juta. Alat X-Ray US$ 87,2 juta. Alat bedah, cetakan plastik dan perangkat hiegenis sebesar US$ 53,5 juta, dan lain sebagainya”, paparnya
Disaat impor begitu besar, lanjut Amin, pemerintah justru mengeluarkan Perpres No.58 tahun 2020 yang berisi penyederhanaan dan kemudahan izin impor. “Dalam perpres tersebut, persyaratan teknis untuk izin impor dapat ditangguhkan dalam keadaan tertentu (kebutuhan mendesak, terbatasnya pasokan dan terganggunya distribusi). Ini tertera dalam pasal 5 ayat 3”, tegasnya.
Persoalannya, kata Amin, penetapan keadaan tertentu tersebut, dapat dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian bersama pejabat yang ditunjuk atas nama menteri. Bisa Dirjen, atau siapapun, lewat mekanisme rapat koordinasi (pasal 4 ayat 2).
“Artinya, Presiden bisa cuci tangan saat impor besar-besaran terjadi (dan ini boleh dilakukan tanpa izin persyaratan teknis) sehingga bisa sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri,” tuturnya.
Keadaan Tertentu
Menurut Amin, “Keadaan tertentu” (pasal 5 ayat 3) yang membolehkan impor tanpa persyaratan teknis juga tidak detail. Misalnya saat harga melebihi tingkat kewajaran. Tidak dijelaskan patokan angka atau presentasenya.
“Atau disebutkan terganggunya distribusi dan kurangnya pasokan yang membuka peluang pelaku usaha oligopoli yang berfungsi sebagai price maker, dapat menahan supply dan mengontrol distribusi lalu bermitra dengan mafia impor. Pasal 5 ayat 3 ini jelas-jelas adalah pasal karet,” terangnya.
Pasal 4 dan 5 ini, ungkap Amin, juga menabrak ketentuan yang tertuang dalam UU 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dimana perizinan impor dilakukan oleh Menteri Perdagangan (pasal 49 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 1 UU 7/2014).
Di pasal 6 Perpres ini menyebutkan BUMN dapat ditugaskan melaksanakan impor produk/barang untuk pemenuhan kebutuhan, ditugaskan oleh Menteri BUMN.
“Ini juga berpotensi tumpang tindih kewenangan karena di UU Perdagangan (Pasal 45) menyebutkan bahwa “Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki pengenal sebagai importir berdasarkan penetapan menteri. Dalam hal ini Menteri Perdagangan.” ungkap Amin