JAKARTA, Bisnistoday – Pemerintah diminta lebih emphati terhadap kondisi perekonomian nasional yang tengah terpuruk. Kehidupan masyarakat yang rentan makin meluas sedangkan kelas menengah yang memiliki daya beli mayoritas semakin menurun jumlahnya.
“Kelas menengah turun dari 57 juta tahun 2019 dans sekarang tahun 2024 tinggal sektiar 47 juta sesuai dengan data BPS. Ini sangat penting, karena sekitar 80% konsumsi pendiduk secara nasional ini ditopang oleh belanja kelas menengah,. Ini besar sekali,” cetus Ekonomi Senior INDEF, Bustanul Arifin sekaligus Guru Besar Unila saat diskusi publik bertajuk “Kelas Menengah Turun Kelas” di Jakarta, baru-baru ini.
Bustanul memaparkan, kelas menengah ini sangat berperang dalam pertumbuhan ekonomi nasinanl. Apabila kelas menengah ini bermasalah maka akan berdampak terhadap konsumsi nasional dan ekonomi nasional.“Karena itu, ini harus dipantau dengan survei lapangan, survei usaha atau manager indeks dan lainnya.
Terlebih, lanjut Bustanul Arifi, datas BPS menyatakan terjadi deflasi selam empat bulan berturut-turut. Angka ini, sekarang ini masih dilihat sudut pandang pengendalian inflasi, atau inflasi terkendali.
“Kalau lebih detail lagi, sebenarnya dari pembentuk inflasi ini, adalah volatile food yang melonjak atau komponen terbesar, Jadi keterkaitan deflasi 4 bulan ini, harus dilihat lebih detail terhadap pengaruh kelas menengah.”
Untuk membantu kelas menengah, lanjut Bustanul, tidak dengan pemberian bansos selesai karena beda dengan kelas bawah. Paling penting bagi kelas menengah, adalah kebijakan pemerintah terkait insentif dan perbaikan governance lainnya. “Jadi butuh kebijakan yang cocok, agar mereka bergeliat kembali.”
Menurut Bustanul Arifin, bahwa pemerintah kembali lagi memperhatikan perbaikan mendasar dari hulunya, yakni pertanian dan pangan. Apabila sektor ini kembali berdaya, maka terbentuk lapangan kerja, dan kelas menengah semakin tangguh. “setelah itu bicara modernisasi industri, big data serta teknologi. Kalau industri andalkan buruh rendah, ya sulit naik kelas.”
Pekerja Non Formal Membludak
Sementara, M Yorga Permana, Akademisi SBM ITB mengatakan, tanda sulitnya lapangan pekerjaan di Jabodetabek seperti fenomena menjamurnya driver OJOL. Survei yang dilakukan bahwa para driver OJOL ini sebanyak 65 persen menginginkan berkerja formal namun tidak ada. “Ini turun kelas, pasca Covid-19 lalu, sebanyak 60% pekerja ini ada di Jabotebek,” ujarnya.
Sedangkan, pekerja driver ini tidak ditopang dengan penghasilan yang stabil atau pekerja tak layak. Sedangkan kelas menengah butuh pekerjaan yang stabil untuk menopang pengeluaranya.”Untuk mendorong kelas menengah ini, butuh peluang pekerjaan yang mapan, dan tidak bekerja sebagai non formal.”
Direktur Pengembangan Big Data, INDEF, Eko Listyanto berkomentar bahwa masyarakat merasa pemimis terhadap daya beli. Perlambatan konsumsi akan berdampak terhadap tekanan pertumbuhan ekonomi.
“Konsumsi hanya tumbuh dibawah 5 persen, pasca Covid-19 pada TW II hanya tumbuh 4,9% dibawah pertumbuhan ekonomi. Padahal hampir 60% itu pertumbuhan ekonomi terbentuk dari konsumsi. Siklus Puasa dan Lebaran kemarin, juga tidak mampu mendonkrak konsumsi. Pemilu juga tidak mengangkat konsumsi. Ini pasti ada yang salah,” cetusnya.
Eko menuturkan, ini bisa dikaitnya dengan turunya kelas menengah sekitar 10 juta jiwa. Padahal apabila pertumbuhan konsumsi dibawah pertumbuhan ekonomi ini alarm bahaya bagi ekonomi nasional. “Pilkada lancarpun, juga tidak menjamin PHK akan terus berlanjut.”
Terlebih,tambah Eko Listyanto, bahwa terlihat pemerintah kurang koordinasi dalam menangani hal pelemahan kelas menengah ini. “Muncil subsisi NIK di kereta, pembatasan subsidi bensin, LPG juga, bahkan PPN 12 persen, kutipan Tapera, ya tinggal boom waktu saja.”
Eko Listyanto menambahkan, tekanan ekonomi semakin nyata apabila melihat PMI manufaktur tidak menggembirakan. Data S$P menyatakan, sejak Apri 2024, PM manufaktur ini terus menurun. “PMI kalau masih diatas 50 dianggap aman, namun ternyata juga kontraksi, 49,3 menajdi 48,9 pada Agustus, dan bagaiam September nanti, bisa lebih rendah dan bahaya.”/