JAKARTA, Bisnistoday – Arinta Nila Hapsari, nama yang kini semakin dikenal di kalangan industri pertambangan, terutama terkait dengan bisnis nikel di Sulawesi Tenggara, menyita perhatian publik setelah sejumlah perusahaan tambang yang dimilikinya terungkap dalam penelitian terbaru. Tim dari Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra mengungkap bahwa Arinta merupakan pemegang saham mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan nikel, seperti PT Tribhuwana Sukses Mandiri, PT Kabaena Kromit Prathama, dan PT Baula Petra Buana. Penemuan ini membuka tabir hubungan antara Arinta, sektor bisnis tambang, dan figur politik penting di Sulawesi Tenggara.
Pencapaian Arinta Nila Hapsari di dunia pertambangan tidak lepas dari perjalanan panjang yang dimulai sejak tahun 2010. Pada tahun tersebut, perubahan kebijakan tata ruang yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara saat itu, Nur Alam, turut membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk beroperasi di Pulau Kabaena, salah satu daerah yang kaya akan sumber daya nikel. Revisi aturan tersebut menurunkan status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi hutan produksi, sebuah langkah yang diakui membuka jalan bagi ekspansi industri pertambangan.
Menariknya, Arinta Nila Hapsari tidak sendirian dalam bisnis nikel ini. Ia berhubungan erat dengan Andi Sumangerukka, suaminya yang terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2024. Hubungan ini semakin memperjelas peran Arinta dalam dunia tambang, karena Andi Sumangerukka, sebelum terpilih menjadi gubernur, memiliki karier militer yang cemerlang dan jabatan-jabatan penting di Sulawesi Tenggara. Kehadiran Andi Sumangerukka sebagai figur politik yang memiliki akses besar ke kebijakan daerah semakin memperumit persepsi publik mengenai potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam di Sultra.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Arinta memang memiliki peranan signifikan dalam sektor pertambangan nikel. Di PT Baula Petra Buana, Arinta menguasai 30 persen saham senilai Rp 18 miliar, sementara di PT Kabaena Kromit Prathama, ia memegang 70 persen saham senilai Rp 1,75 miliar. Di PT Tribhuwana Sukses Mandiri, Arinta menguasai 25 persen saham. Fakta ini menunjukkan besarnya pengaruh Arinta dalam dunia tambang nikel, yang menjadikan namanya tak terelakkan dari diskursus bisnis pertambangan di Sulawesi Tenggara.
Namun, perjalanan bisnis Arinta tidak tanpa kontroversi. Beberapa perusahaan miliknya diketahui terlibat dalam masalah hukum yang serius. PT Kabaena Kromit Prathama, misalnya, tersandung kasus dokumen ilegal yang melibatkan pejabat Kementerian ESDM, serta tuduhan penambangan ilegal. Begitu juga dengan PT Tribhuwana Sukses Mandiri yang terseret dalam skandal penambangan ilegal yang merusak lingkungan. Meski begitu, hingga saat ini, Arinta Nila Hapsari tampak belum tersentuh oleh masalah hukum yang membelit perusahaan-perusahaannya.
“Sebut saja mulai dari terseretnya PT Kabaena Kromit Prathama dalam skandal dokumen terbang alias ‘dokter’ di Kementerian ESDM yang telah menyeret mantan Dirjen Minerba Ridwan Djamaludin ke balik jeruji besi, terkait IUP nikel PT Kabaena seluas 102,6 hektare di Blok Mandiodo, Konawe Utara yang ternyata merupakan wilayah kerja PT Antam Tbk. Arinta Nila Hapsari tampaknya tak tersentuh hukum, meskipun Arinta memiliki saham 70 persen di PT Kabaena Kromit Prathama,” ungkap Hengki Seprihadi, sekretaris Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), dalam keterangannya, Rabu (15/1/2025).
Selain masalah hukum, nama Arinta juga sering dikaitkan dengan dugaan praktik bisnis yang tidak transparan. Dalam beberapa investigasi, terdapat kejanggalan dalam kepemilikan saham di beberapa perusahaan tambang, serta adanya dugaan pemalsuan dokumen. Kasus-kasus tersebut, termasuk skandal pembelian saham PT Tonia Mitra Sejahtera yang diurus melalui kantor Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Sulawesi Tenggara, semakin menambah keruhnya reputasi Arinta di mata publik. Publik pun bertanya-tanya apakah benar Arinta Nila Hapsari yang kini dijuluki sebagai “Ratu Nikel Sultra”.
Peningkatan ketajaman pertanyaan publik atas keberadaan Arinta dan bisnisnya, ditambah dengan latar belakang suaminya yang kini menjabat sebagai Gubernur, semakin membuat masyarakat curiga akan adanya koneksi antara kebijakan pemerintah daerah dan keuntungan pribadi. Keterlibatan politik dalam sektor tambang memang bukan hal baru di Indonesia, namun dalam kasus Arinta Nila Hapsari, dampak sosial dan lingkungan dari pertambangan nikel yang mereka jalankan sangat besar, sehingga menuntut keterbukaan dan pertanggungjawaban yang lebih dari pihak-pihak terkait.