JAKARTA, Bisnistoday – Permohonan pengujian materiil UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU 21/2001 mulai disidangkan Mahkamah Konstitusi, pada Selasa (30/7).
Para hakim panel memberikan saran kepada penggugat melakukan perbaikan dan penambahan materi gugatan, baik dalam argumen posita ataupun petitum. Hakim ketua Suhartoyo meminta pemohon untuk memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi 34/2016 tentang gugatan UU Otsus Papua sebagai pertimbangan dalam perbaikan materi gugatan. Hakim Panel meminta tim kuasa hukum untuk menyampaikan materi perbaikan gugatan paling lambat Senin (5/8). Selanjutkan akan dijadwalkan untuk sidang perbaikan.
Terkait Uji Materi ini, Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi, Yanto Ijei menegaskan, tim kuasa hukum akan segera melakukan perbaikan materi gugatan. Berbagai argumen hukum yang menguatkan gugatan akan ditambahkan tim kuasa hukum sehingga bisa meyakinkan hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan uji materiil UU Otsus Papua.
“Putusan MK 34/2016 tentu akan menjadi pertimbangan kami. Berbagai dalil dan argumen berbeda dengan materi gugatan yang diputuskan dalam putusan MK itu, akan kami sampaikan. Kami optimis gugatan ini akan dikabulkan hakim MK. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi dalam membela hak-hak konstitusional Orang Papua Asli,” tegas Yanto.
Dalam sidang Perkara Nomor 93/PUU-XXII/2024 hari ini, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo, menjadi Ketua Hakim Panel, didampingi hakim anggota Arief Hidayat dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Sementara dari pihak pemohon, Bastian Buce Ijie dan Zakarias Jitmau diwakili kuasa hukum dari Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi. Yakni, Almizan Ulfa, Wazri Abdullah Afifi, Ahmad Suardi, Ivan Pattiwangi, dan Muhammad Ridwan Drachman.
Para kuasa hukum secara bergantian membacakan posita gugat atau dalil gugatan dalam agenda sidang pemeriksaan pendahuluan ini. Penggugat meminta pengujian konstitusionalitas sejumlah pasal pada UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan UU 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU 21/2001. Pasal yang digugat adalah pasal 12 dan Pasal 13 UU 21/2001. Sedangkan pada UU 2/2021 meliputi Pasal 1 ayat (22), Pasal 6A, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) Huruf a, Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4).
Yanto secara terperinci mengungkapkan, Pemohon menilai Pasal 1 ayat (22) UU No. 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan: “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari Suku-Suku Asli Papua di Provinsi Papua.”
Pasal 12 UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan: “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota.”
Pasal 13 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Persyaratan dan tata cara…pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati.”
Pasal 20 ayat (1) huruf a UU No.2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.”
Pasal 20 ayat (1) UU No.2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan: “f. Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan terhadap calon anggota DPR dan DPRP/K yang diusulkan oleh Partai Politik dan penyelenggara pemilu,” yang merupakan penambahan huruf f pada ayat (1) a quo, dan dimaknai juga dengan “g.
Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan terhadap calon Pimpinan Ketua dan wakil-wakil ketua DPRP/K yang diusulkan partai Politik pemenang pemilu.,” yang merupakan penambahan huruf g pada ayat (1) a quo, dan dimaknai juga dengan “h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota DPD 100 % (persen) OAP yang diusulkan oleh penyelenggara Pemilu.”
Pasal 28 ayat (3) UU No.2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan: “Di antara ayat (3) dan ayat (4) ditambahkan ayat 3a yang lengkapnya berbunyi rekrutmen politik oleh partai politik di provinsi dan kabupaten/kota dengan komposisi 80 % (persen) OAP dan 20 % (persen) Non-OAP untuk Calon Anggota DPRP/K dan 100 % (persen) untuk Calon Anggota DPR.”
Pasal 28 ayat (4) UU No. 2/2021 tentang tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan: “meminta pertimbangan dan persetujuan.”
Pasal 6 UU No. 2/2021 tentang tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “di antara Pasal 6A dan Pasal 7 ditambahkan Pasal 6B yang selengkapnya berbunyi “Pimpinan DPRP/K adalah Orang Asli Papua yang berasal dari partai politik pemenang pemilu sesuai ketentuan perundang-undangan.”//