TIDAK tenang ditengah masa tenang, kiranya begitu kegelisahan yang hadir menjelang last minute penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Sesuai ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 10 Februari 2024 merupakan kesempatan terakhir para peserta pemilu untuk berkampanye dan mulai memasuki masa tenang hingga hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Meskipun demikian, nampaknya potensi aktivitas kampanye tidak sepenuhnya berakhir begitu saja, hingga malah berpotensi semakin masif terutama pada ruang digital. Alat peraga kampanye berupa spanduk, reklame, bendera dan alat fisik lainnya bisa saja diturunkan, namun tidak dengan konten digital yang dihasilkan para pendengung.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu nyatanya belum mengatur secara khusus mengenai pelanggaran kampanye di media sosial selain hanya memberlakukan pembatasan jumlah akun yang terdaftar. Sementara itu, akun-akun yang menyebar hoaks berupa misinformasi dan disinformasi hingga ujaran kebencian di media sosial, kebanyakan bukan akun yang terdaftar secara resmi di KPU sebagai pihak yang mewakili calon atau partainya sehingga praktik kampanye negatif masih gencar beredar di berbagai platform media sosial.
Kenyataan tersebut menjadi hal yang mengkhawatirkan ditengah fakta bahwasanya 73% yakni mayoritas masyarakat Indonesia, memilih media sosial sebagai rujukan pertama untuk mengakses informasi (Katadata Insight Center, 2022). Publik perlu amat cermat memahami situasi ini agar tak kehilangan arah dalam menentukan langkah pada situasi yang krusial ini.
Fenomena Pascakebenaran (Post-Truth)
Ditengah tahapan pemilu serentak, akan sangat sulit dihindari serbuan dan jebakan era pascakebenaran (post-truth) yang ditandai dengan berkembangnya gelombang hoaks hingga ujaran kebencian. Suatu era yang menurut Jonathan Mair (2017) dimana kebohongan diproduksi sebagai bagian dari taktik politik.
Kebohongan ditampilkan dalam kemasan seolah argumentatif, dibuat sedemikian rupa sehingga seakan-akan dapat menjadi fakta alternatif yang dapat dijajakan dan diterima. Suatu era yang diselimuti banyak manipulasi, pengkaburan, yang menyulitkan masyarakat untuk membedakan antara yang benar dan yang salah; antara yang hak dengan batil; antara fakta dengan bukan fakta.
Hal ini kian jelas tergambar ketika semakin mendekati waktu pemungutan suara, produksi konten hoaks pemilu nyatanya semakin gencar tersebar. Kementrian kominfo melalui siaran pers NO. 03/HM/KOMINFO/01/2024 melaporkan Rekapitulasi Isu Hoaks Pemilu. Terdapat 203 temuan isu hoaks pemilu dengan 2.882 konten di berbagai platform media sosial. Data amat jelas menampilkan bawa hoaks yang berkaitan dengan pemilu semakin signifikan dari bulan ke bulan beriringan dengan semakin dekatnya pemungutan suara pada 14 Februari nanti.
Teknologi dan platform digital memang memudahkan setiap orang menjadi produsen informasi dan berita. Namun perkembangan itu malah memudarkan proses filtrasi informasi berkualitas yang sebelumnya terlembaga melalui media massa. Seperti yang dijelaskan Gray (2019) Alih-alih menjadi ledakan dan keberlimpahan informasi, kini ruang publik malah banyak dipenuhi alternative facts (fakta alternatif) yang membentuk alternative realities (realitas alternatif) yang merugikan demokrasi.
Algoritma, Amplifikasi Informasi & Polarisasi Politik
Perkembangan teknologi informasi memungkinkan besarnya volume data digital yang awalnya dianggap berserak tak berguna, menjadi sesuatu yang amat bernilai. Himpunan data kompleks atau akrab disebut data raya (big data), merupakan spektrum penting yang nyatanya dapat diperdaya-gunakan untuk memprediksi perilaku (user behavior), mengukur preferensi, analisis sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Kini data telah menjelma menjadi new oil, menjadi new gold, hal ini membawa perubahan besar terhadap peta sumber daya ekonomi dan politik.
Beberapa mungkin percaya bahwa teknologi merupakan sebuah instrumen netral. Namun demikian di era pascakebenaran, kendali atas teknologi ini pun nyatanya dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemenangan akan sumber daya ekonomi hingga kuasa politik.
Seperti yang dijelaskan Soshana Zuboff dalam Agus Sudibyo (2019) mengenai surveillance capitalism, dimana perusahaan – perusahaan teknologi informasi yang menguasai data dalam praktiknya bekerja sama dengan agen kekuasaan untuk memperoleh legitimasi dan dukungan politik, sehingga bersekutulah kekuatan ekonomi yang memiliki motif-motif bisnis dengan kekuatan politik yang memiliki motif pengawasan dan pengendalian.
Sebagai pengingat, kasus kontroversial 2016 ketika Cambridge Analytica, tanpa izin menambang data 50 juta pengguna Facebook menyita perhatian dunia. Melalui targeted campaign dan reflexice control, mereka memanfaatkan data untuk memengaruhi opini publik dan menjadi broker dalam meraih kemenangan Donald J. Trump dalam pemilu Amerika Serikat tempo lalu.
Tidak dapat dipungkiri internet hadir menembus berbagai ketidakmungkinan. Bahwa kini masyarakat dapat memperoleh informasi, data, hingga wacana dalam spektrum yang amat luas dengan mudah. Namun, benarkah internet memperkaya perspektif dan pemahaman penggunanya?
Farhan Manjoo dalam ulasannya yang berjudul “How the Internet is Loosening Our Grip on the Truth” menunjukkan tren yang sebaliknya. Ia mengingatkan bahwa media sosial juga berdampak distortif terhadap pemahaman masyarakat tentang kebenaran dan cara kebenaran semestinya diperlakukan. Kebanyakan pengguna internet, terlebih-lebih ketika menghadapi hoaks terjerembab pada apa yang disebut dengan echo chambers of information (ruang gema informasi).
Hal ini pun menjebak masyarakat pada “confirmation bias”, yakni memproses informasi dengan mencari atau menafsirkan informasi sesuai dengan kecenderungannya yang merupakan kombinasi berbahaya antara post-truth dengan algoritma filter bubble ala platform media sosial.
Yang paling mudah diingat adalah fenomena perang digital di Indonesia 2019-2020, dengan polarisasi antara “cebong” dan “kampret”. Algoritma filter bubble ala platform media sosial mengarahkan para pengguna untuk semaksimal mungkin berselancar di sosial media dengan dijejali konten manipulatif yang seolah-olah sesuai dengan minat dan preferensinya. Meskipun meningkatkan kenyamanan pengguna, politik algoritma dalam kampanye dapat disusupi untuk menghasilkan polarisasi hingga militansi dukungan pada kandidat tertentu hingga memicu konflik politik.
Seperti yang dijelaskan Soo L.L. & Peter J.B. (2022) yang memperkenalkan Social Opinion Amplification Model (SOAM) menerangkan bahwa amplifikasi informasi terutama berbentuk opini mengakibatkan polariasi yang ekstrem. Entah itu sensionalisme, clickbait, hype, polaritas sentimen, atau bahkan hoaks, ketika informasi diorkestrasi untuk mengamplifikasi opini maka akan terjadi polarisasi ekstrem pada publik hingga menyebabkan disintegrasi bangsa.
Paradoks Demokrasi Digital
Hadirnya media sosial pada dasarnya mempermudah praktik masyarakat berdemokrasi. Melalui media sosial, semua pihak bebas menyampaikan pandangan dan sikap politik secara luas. Hal ini merupakan bagian dari perkembangan demokrasi yang disebut sebagai demokrasi digital, tak ada lagi perbedaan hierarkis antara yang ahli dan yang awam. Semuanya adalah subjek yang berhak berbicara dan didengarkan.
Namun, semua pihak kemudian mengalami keresahan yang luar biasa, bahwa demokrasi digital juga menyajikan gelombang hoaks dan ujaran kebencian. Gelombang itu bahkan meningkat menjadi epidemi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang beradab, epidemi yang melahirkan krisis etika publik, khususnya dalam ranah komunikasi politik hingga budaya komunikasi antarwarga.
Hoaks hingga ujaran kebencian kemudian menjadi puncak dari paradoks demokrasi. Trafik komunikasi yang amat rumit serta tidak dapat dikontrol menyebabkan mudahnya bermunculan berita bohong yang memiliki daya rusak sporadis.
Puncak pesta demokrasi nyatanya malah beriringan dengan puncak tersebarnya besaran isu hoaks seperti yang terjadi pada pemilu 2019 di bulan April yang menjadi bulan dengan presentase temuan isu hoaks tertinggi sewindu kebelakang (Siaran Pers No. 02/HM/KOMINFO/01/2024). Masih berharap puncak pemilu 2024 pada bulan februari ini tidak memecah rekor pemilu sebelumnya.
Namun memang pada kenyataannya, fenomena pascakebenaran dengan ruang gema dan bias informasinya ini, memungkinkan yang kanan akan semakin menguat ke kanan, yang kiri akan semakin menguat ke kiri. Hingga semuanya keasikan bermain dalam ruang gema masing-masing yang begitu fanatik dengan pandangan, keyakinan dan prasangkanya sendiri. Hampir tidak ada dialog atau tukar pendapat yang berarti dengan kelompok lain. Dalam gelembung isolasi masing-masing, pengguna media sosial memuja-muja diri dan kelompoknya sendiriri dan menyumpah serapahi lawan.
Jakarta, Februari 2024
Oleh: Fakhrizal Lukman, Direktur Lembaga Kaukus Muda Nusantara (LKMN)