JAKARTA, Bisnistoday – Kebijakan transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat memicu perdebatan publik tentang jaminan keamanan data. Politikus Golkar Prof. Henry Indraguna melihat peluang ekonomi dari kerja sama ini, termasuk peningkatan ekspor dan investasi di era digital.
“Kerja sama ini bisa meningkatkan daya saing Indonesia di tengah ketidakpastian global,” ujar Indraguna, seraya menekankan pentingnya mekanisme perlindungan seperti Binding Corporate Rules (BCR) untuk mencegah penyalahgunaan data oleh perusahaan teknologi AS, dalam keterangannya, Senin (28/7).
Seperti diketahui Indonesia berhasil menurunkan tarif ekspor ke AS dari 32% menjadi 19%, sementara Indonesia menghapus 99% tarif untuk ekspor AS. Namun lobi Presiden Prabowo kepada Presiden Trump untuk penurunan besaran tarif tersebut bisa menjadi blunder jika transfer data pribadi berpotensi melanggar UU Perlindungan Data Pribadi.
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna, SH, MH, menyoroti potensi pelanggaran Pasal 56 UU PDP.
“UU PDP mensyaratkan negara dengan tujuan memiliki standar perlindungan data setara atau lebih tinggi, seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa. Sementara AS hanya memiliki regulasi sektoral, seperti California Consumer Privacy Act (CCPA), yang berlaku di California saja, bukan federal,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Meutya Hafid menegaskan transfer data dilakukan dengan prinsip tata kelola yang aman dan akuntabel. “Kami memastikan proses ini tidak mengorbankan hak warga negara, sekaligus menjaga kedaulatan data Indonesia,” tegas Meutya dalam pernyataan resminya.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mendesak pemerintah memberikan penjelasan lengkap kepada Komisi I DPR. “Kami perlu kejelasan untuk mencegah misinterpretasi yang bisa menimbulkan keresahan masyarakat,” kata politikus Gerindra tersebut.
Pakar keamanan siber mengingatkan pentingnya payung hukum yang kuat untuk melindungi data warga. Sementara pelaku usaha digital menyambut positif kerja sama ini sebagai peluang akses infrastruktur teknologi global.
Kebijakan ini tetap menyisakan pertanyaan: apakah mekanisme pengawasan yang ada cukup kuat untuk melindungi 274 juta data pribadi warga Indonesia? Masyarakat menunggu transparansi lebih lanjut dari pemerintah mengenai implementasi kesepakatan strategis ini.




